JawaPos.com – Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo diduga mendapat sejumlah gratifikasi senilai hampir Rp 1 miliar. Penerimaan gratifikasi tersebut, diterima melalui kantor konsultan pajak, dimana istri Rafael Alun menjabat sebagai komisaris dan pemilik saham.
Berdasarkan informasi yang dihimpun JawaPos.com, perusahaan konsultan pajak itu dibangun Rafael Alun sejak 2011, guna mengeruk pundi-pundi rupiah dari wajip pajak. Dari perusahaan tersebut, Rafael Alun pun banyak meneguk keuntungan dari berbagai wajib pajak.
Tercatat, ada berbagai wajip pajak perusahaan yang menjadi klien kantor konsultan pajak tersebut, dari mulai wajip pajak perusahaan BUMN hingga perusahaan yang bergerak dibidang usaha persawitan.
Atas perbuatannya menerima sejumlah gratifikasi melalui perusahaan konsultan pajak tersebut, Rafael Alun kini telah ditetapkan tersangka. Dia dijerat dengan Pasal 12 huruf B UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tipikor. Rafael Alun pun terancam hukuman maksimal 20 tahun pidana penjara, jika nantinya jaksa penuntut uumum (JPU) KPK bisa membuktikan berbagai perolehan gratifiksi Rafael Alun melanggar hukum.
Hingga saat ini, KPK belum merespons pesan konfirmasi yang dilayangkan JawaPos.com. Demikian juga dengan Rafael Alun.
Namui sebelumnya, Rafael Alun membantah tak menggunakan jasa konsultan dalam mengelola aset kekayaan.
“Saya tidak pernah menggunakan jasa konsultan pajak. Jika memang diduga ada bantuan dari konsultan pajak mohon dijelaskan bantuannya seperti apa?,” kata Rafael Alun kepada wartawan, Minggu (26/3).
Terkait asal usul harta kekayaannya yang saat ini tengah dalam pemeriksaan KPK, dirinya tak habis pikir. Pasalnya, ia selalu melaporkan harta kekayaannya sejak 2011. Rafael Alun pun mengaku sudah beberapa kali diklarifikasi mengenai asal usul hartanya oleh KPK pada 2016 dan 2021, serta Kejaksaan Agung pada 2012.
Rafael Alun menyatakan, sejak 2011 tidak pernah ada penambahan aset tetap sehingga penambahan nilai semua karena peningkatan nilai jual objek pajak.
“Jadi kalau sekarang diramaikan dan dibilang tidak wajar hanya karena kasus yang dilakukan oleh anak saya, jadi janggal karena sudah sejak 2011 sudah dilaporkan. Selain itu pada tahun 2016 dan 2021 sudah klarifikasi oleh KPK, serta tahun 2012 telah diklarifikasi di Kejaksaan Agung,” ucapnya.
Lagipula, katanya, terkait perolehan harta yang dimiliki sudah tercatat dalam surat pemberitahuan tahunan orang pribadi (SPT-OP) di Ditjen Pajak sejak 2002. Selain itu, terkait adanya penambahan harta juga telah dilaporkan rutin dalam SPT pada saat harta tersebut diperoleh.
“Perolehan aset tetap saya sejak tahun 1992 hingga tahun 2009, seluruhnya secara rutin tertib telah saya laporkan dalam SPT-OP sejak tahun 2002 hingga saat ini dan LHKPN sejak tahun 2011 sampai dengan saat ini. Seluruh aset tetap tersebut sudah diikutkan program TA (Tax Amnesty) tahun 2016 dan juga diikutkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tahun 2022. Sehingga saat ini seharusnya sudah tidak menjadi masalah” pungkasnya.
Untuk diketahui, sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan membuka penyelidikan baru, untuk mencari unsur tindak pidana korupsi mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo (RAT). Hal ini dilakukan usai lembaga antirasuah menduga adanya ketidakwajaran harta kekayaan Rafael dalam laporan harta kekayaannya sebesar Rp 56 miliar.
Berdasarkan informasi yang dihimpun JawaPos.com, ihwal dibukanya penyelidikan tersebut, dilakukan usai disetujui oleh semua pihak, dalam rapat gabungan yang digelar pada Senin (6/3). Adapun rapat dihadiri Tim Direktorat LHKPN, Tim Kedeputian Penindakan, hingga pimpinan KPK.
Dalam perkembangannya, usai hampir sebulan melakukan penyelidikan, tim penindakan KPK atas persetujuan pimpinannya, menaikkan hasil penyelidikan ke tingkat penyidikan dan menetapkan Rafael Alun sebagai tersangka penerima gratifikasi.