AKHIR-akhir ini negara diributkan oleh fenomena flexing (pamer harta) keluarga pejabat. Fenomena itu menjadi ironi karena kemiskinan masih mendominasi hampir 26,36 juta jiwa di Indonesia. Hal tersebut memprihatinkan dan menjadi pembicaraan di ruang publik. Asas kepantasan seorang pejabat dan keluarganya dinilai kurang etis oleh khalayak umum yang melihat mereka memamerkan harta dari motor gede, aset properti, tas branded, dan lainnya.

Jalan Panjang RUU Perampasan Aset

Tahun 2012 pemerintah melalui BPHN Kemenkum HAM membuat laporan akhir naskah akademik RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dengan harapan segera disahkannya RUU tersebut. Namun, RUU itu mengalami perjalanan panjang nan terjal. Tepatnya sebelas tahun lamanya, yakni dengan munculnya fenomena flexing di tahun ini. Baru pada 2023 ini Menkum HAM Yasonna H. Laoly mengungkapkan bahwa RUU Perampasan Aset sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Juga sudah diharmonisasi oleh Menkum HAM. Hal ini disambut baik oleh DPR RI yang memastikan RUU Perampasan Aset jadi prioritas (Jawa Pos, 14 Maret 2023).

Panjangnya perjalanan RUU Perampasan Aset ini ibarat mendaki gunung. Jalurnya terjal, curam, dan berkelok. Kenapa demikian? Karena materi muatannya mempunyai banyak paradigma perubahan. Tidak hanya perubahan terkait penegakan hukum, tapi juga perubahan budaya hukum.

Materi muatan RUU Perampasan Aset ini sangat revolusional. Hal ini dapat dilihat dari tiga perubahan paradigma. Pertama, pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana bukan hanya subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, tapi juga aset yang diperoleh dari kejahatan. Kedua, mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata karena terkait dengan aset (harta).

Ketiga, terhadap putusan pengadilan, tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lainnya. Mengingat terhadap kejahatan yang tidak menimbulkan korban secara langsung (victimless), pelaku seolah-olah terbebas dari kewajiban membayar ganti rugi. Hal ini berbeda dengan jenis kejahatan yang menimbulkan korban langsung, di mana para korban atau keluarganya dapat mengajukan gugatan materiil kepada pelaku kejahatan seperti yang dipraktikkan di negara Belgia dan Prancis.

Perjelas Makna Perampasan Aset

Perampasan aset telah diatur dalam Pasal 10 KUHP, Pasal 3 dan Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Perampasan aset dalam KUHP dan UU Tipikor merupakan hukuman tambahan yang dijatuhkan dalam putusan hakim setelah melalui proses persidangan (court process).

Sedangkan perampasan aset pada konsep non conviction based (NCB) merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan aset negara diambil oleh pelaku untuk disita kembali. Tujuannya mengembalikan kerugian negara (asset recovery) sehingga percepatan persidangan dengan agenda pembuktian terbalik terhadap aset dan putusan perampasan aset atau tidak sehingga menjadi satu-satunya pidana pokok yang akan dijatuhkan.

Kerugian negara (state loss) yang dikhawatirkan banyak pihak, seperti catatan ICW pada tahun 2020, nilai kerugian negara dari kasus tipikor sebesar Rp 18,173 triliun. Pada 2021 nilainya mencapai Rp 26,83 triliun (meningkat 47,6 persen). Agar terminimalkan mengembalikan kerugian negara secara efektif, salah satunya dapat diberlakukan asas hukum lex specialist deroget lex generalis (aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum) karena RUU Perampasan Aset mengatur tentang hukum acaranya sendiri.

Checks and Balances

Hal mendasar dari tujuan adanya RUU Perampasan Aset terkait dengan tindak pidana ini adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih. Mekanisme checks and balances sebagai sarana kontrol dan keseimbangan antarlembaga negara dalam menjalankan tugas, yakni merampas, menyita, dan mengelola aset terkait tindak pidana harus jelas kewenangannya.

Lembaga legislatif berkewajiban mengawal RUU Perampasan Aset menjadi UU karena kepastian hukum tipikor dan kebutuhan masyarakat akan pemerintahan bersih. Lembaga yudikatif berfungsi sebagai pengontrol sekaligus pemberi punishment dalam pelaksanaan (R)UU Perampasan Aset seperti kepolisian, kejaksaan, dan jaksa penuntut umum dalam tipikor. KPK juga harus diberi porsi yang tegas terkait batasan kewenangan sita-rampas-kelola aset.

Lembaga eksekutif dalam hal ini Kemenkum HAM sebagai salah satu pelaksana (R)UU ini dapat menggandeng kementerian lain. Seperti Kementerian Keuangan yang membawahkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai pengelola kekayaan negara yang profesional dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam melakukan perampasan dan penyitaan mutlak menjadi tugas dan kewenangan dari lembaga yudikatif atau penegak hukum seperti kejaksaan agar lebih objektif. Dalam lingkup pengelolaan aset seperti menerima aset hasil sitaan kemudian pengurusan sampai eksekusi aset, termasuk penjualan, pemusnahan, atau pengembalian menjadi milik negara, sebaiknya menjadi kewenangan DJKN sebagaimana tupoksinya. Lebih-lebih Kemenkeu saat ini menjadi sorotan publik atas kinerjanya.

Dengan demikian, filosofi perampasan aset, yakni pengambilalihan aset atas kerugian keuangan negara, terpenuhi dengan dikembalikan lagi menjadi kekayaan negara. Sehingga tidak terjadi overlapping kewenangan antarlembaga negara dalam RUU Perampasan Aset ini. Dan mekanisme checks and balances dapat berjalan dengan baik. (*)


*) DIAN FERRICHA, Direktur PUSKOD UIN SATU Tulungagung, Ketua Bidang Hukum ISNU Jawa Timur

By admin