TRANSAKSI jual beli barang bekas atau sering disebut thrifting sedang mendapat perhatian banyak pihak, khususnya pemerintah yang belakangan ini gencar menyetop kegiatan tersebut. Thrifting tidak terbatas pada jual beli pakaian bekas saja, bisa juga berupa barang lain. Tetapi, saat ini fokus perhatian publik ada pada pakaian bekas impor dari negara lain.
Bisnis thrifting terbilang menjanjikan karena minat konsumen terhadap pakaian bekas impor masih tinggi. Pakaian bekas impor menjadi makin populer karena barang yang dijual harganya terjangkau dan kualitasnya pun tak kalah saing dengan pakaian baru.
Kehadiran thrifting di tengah masyarakat ibarat pisau bermata dua yang dapat menguntungkan sekaligus berpotensi mengancam perekonomian negara. Thrifting yang sebelumnya sudah eksis di luar negeri dianggap sebagai bentuk upaya peduli lingkungan dengan menerapkan prinsip reduce dan reuse. Pakaian bekas yang kualitasnya masih bagus dapat digunakan kembali sehingga dapat mengurangi limbah produksi tekstil yang sulit terurai. Upaya itu yang mendorong masyarakat untuk melakukan thrifting sehingga menjadi peluang bagi para pelaku bisnis skala UMKM guna mengembangkan usaha di bidang thrift shop.
Namun, permasalahan thrifting sekarang adalah pakaian bekas yang dijual adalah hasil impor. Hal itulah yang dianggap pemerintah sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan industri tekstil dalam negeri.
Dilema
Istilah thrifting mencuat dan menjadi perbincangan publik sejak Presiden Joko Widodo mengecam kegiatan tersebut beberapa hari yang lalu. Hal itu ditindaklanjuti Kementerian Perdagangan dengan memusnahkan pakaian, tas, dan sepatu bekas impor senilai Rp 10 miliar di Kota Pekanbaru, Riau. Sekilas apa yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan upaya menegakkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang perubahan Permendag 18/2021 tentang barang dilarang ekspor dan impor.
Pada pasal 2 ayat 3 disebutkan, pakaian bekas termasuk salah satu barang yang dilarang impor karena industri tekstil dalam negeri dianggap mampu memenuhi permintaan pasar domestik, namun kenyataan justru sebaliknya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor pakaian bekas meningkat 607,6 persen pada kuartal III/2022 dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Kenaikan drastis tersebut tentu dianggap pemerintah sebagai ancaman kuat bagi keberlangsungan industri tekstil dalam negeri sehingga perlu tindakan tegas dalam menghadapi thrifting.
Jika pemerintah menganggap thrifting sebagai sebuah ancaman, para pelaku bisnis di bidang thrift shop justru melihat thrifting sebagai peluang untuk mengembangkan usahanya. Keunggulan thrifting yang menyuguhkan berbagai macam brand dengan kualitas yang masih bagus serta harga terjangkau tentu dapat menarik banyak konsumen sebagai pasar potensialnya, terutama menyasar kalangan anak muda. Melansir data survei dari GoodStats, 49,4 persen anak muda mengaku pernah membeli pakaian dari thrifting. Hal itu menunjukkan bahwa kebanyakan anak muda memilih thrifting sebagai solusi untuk tampil fashionable, tapi tetap ramah kantong.
Perbedaan kepentingan dan sudut pandang masing-masing pihak dalam melihat thrifting inilah yang memunculkan dilema tersendiri. Pelarangan pemerintah terhadap thrifting tentu akan berdampak langsung bagi para pelaku bisnis thrift shop. Pasalnya, pelarangan tersebut akan menurunkan omzet para pelaku bisnis yang menggantungkan sumber penghasilan dari thrifting. Akan tetapi, jika thrifting dibiarkan, tentu akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan industri tekstil dalam negeri.
Thrift Shop vs Industri Tekstil
Sebelum thrifting marak, para industri tekstil ini berperan sebagai pemimpin pasar (market leader) yang mampu membentuk pola konsumsi masyarakat. Bagi mereka, untuk menghasilkan pakaian yang branded, tentu dibutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit karena sangat memperhatikan kualitas bahan dan proses produksi. Hal itu menyebabkan pakaian branded hanya dapat dijangkau kalangan tertentu.
Anggapan itulah yang dilihat thrift shop sebagai celah merebut pasar para industri tekstil. Thrift shop hadir seakan menentang anggapan tersebut dengan menawarkan pakaian berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi semua kelas. Strategi itu perlahan dapat mengubah persepsi dan pola konsumsi masyarakat tentang pakaian branded. Strategi yang dipakai thrift shop ialah mengesampingkan predikat ”pakaian bekas” dan mengedepankan kualitas. Positioning seperti itulah yang dapat merebut pasar industri tekstil dan menarik masyarakat untuk melakukan thrifting.
Pemerintah selaku regulator dapat membatasi jumlah peredaran pakaian bekas impor sebagai upaya untuk menjaga pasar domestik industri tekstil dalam negeri tetap terkendali. Pasalnya, thrifting tidak dapat dihilangkan begitu saja karena banyak dari kalangan masyarakat yang membutuhkannya.
Thrifting tetap ada sebagai media pemicu (trigger) bagi industri tekstil dalam negeri agar terdorong untuk memproduksi sesuai dengan selera dan pola konsumsi masyarakat saat ini. Dengan upaya tersebut, peredaran produk di pasar domestik akan lebih variatif dengan kualitas dan harga yang bersaing.
Dalam dunia bisnis pasti akan selalu ada kompetitor sehingga wajib untuk terus bergerak aktif dan dinamis dalam menghadapi segala persaingan. Jangan hanya berusaha menyingkirkan kompetitor, tetapi juga harus siap melakukan shifting dengan mengubah model, proses, dan strategi bisnis yang lebih relevan dengan keadaan saat ini. Amati, hadapi, dan lakukan inovasi. Dengan begitu, diharapkan industri tekstil dalam negeri dapat berjaya di negeri sendiri. (*)
*) YOSSY IMAM CANDIKA, Dosen Program Studi D-4 Perbankan dan Keuangan Fakultas Vokasi Unair