JawaPos.com – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Maria Farida Indrati. Dia mengatakan, hukum yang berkembang di Indonesia banyak dipengaruhi oleh hukum Belanda. Bahkan, masih ada produk hukum yang usianya sudah ratusan tahun, tapi masih digunakan di Indonesia antara lain KUHP dan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), serta beberapa UU lain.
Seharusnya, kata Maria, semua peraturan warisan Belanda itu diganti sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat terkini. Ia juga menyoroti tren saat ini dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law. Misalnya, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sekarang diganti Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
“Beleid itu berdampak pada berbagai ketentuan dalam 78 UU yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. UU Cipta Kerja tidak mengubah seluruh UU terdampak, tapi hanya mengubah sebagian kecil atau beberapa pasal dalam UU tertentu saja,” ujarnya.
Namun persoalannya, lanjut Maria, jika UU terdampak dalam UU Cipta Kerja itu diubah, apakah pasal yang ada dalam UU Cipta Kerja juga diubah?
Diketahui, Maria sejak awal mengkritik metode omnibus law yang digunakan untuk UU Cipta Kerja. Menurutnya, metode omnibus law hanya bisa digunakan untuk UU yang memiliki tema atau latar belakang isu yang sama. Persoalan ini hampir serupa dengan berbagai peraturan Belanda yang masih digunakan di Indonesia.
“Padahal beberapa UU telah diterbitkan, tapi peraturan lamanya tidak dicabut,” ujarnya.
Sekarang pemerintah dan DPR juga menggunakan metode omnibus untuk UU lainnya, misalnya RUU Kesehatan. Materi yang diatur dalam RUU Kesehatan juga mirip UU Cipta Kerja yakni ada UU terdampak tidak memiliki tema yang sama.
“Pembentukan UU menggunakan omnibus harus benar-benar dikaji jangan sampai UU terdampak menjadi berantakan,” ujarnya.
Lebih lanjut Maria mengingatkan agar tidak memaksakan beberapa UU yang berbeda tema untuk diubah substansinya melalui mekanisme omnibus law. Membuat UU juga tidak perlu dipaksakan jika memang tidak dibutuhkan.
Senada dengan dia, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Fitriani Ahlan Sjarif menyebut, obesitas regulasi muncul karena banyak lembaga yang memilki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan.
“Padahal guna meminimalkan regulasi yang berlebihan seharusnya ditentukan mana lembaga yang memiliki kewenangan menerbitkan aturan,” imbuhnya
Fitriani menilai omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja bukan contoh yang baik untuk teknik pembentukan perundang-undangan. UU yang masuk dalam omnibus UU Cipta kerja sangat beragam sama seperti omnibus RUU Kesehatan dimana UU yang masuk tak hanya sektor Kesehatan, tapi juga jaminan sosial.
“Ketimbang menggunakan metode omnibus lebih baik pembentukan UU menggunakan cara yang sederhana, sehingga hasilnya bisa mudah dibaca masyarakat umum,” pungkasnya.
Kalangan pakar hukum sepakat bahwa penggunaan metode omnibus law secara tidak hati-hati bisa membuat UU menjadi berantakan. Metode omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja bukan contoh yang baik untuk teknik pembentukan perundang-undangan.
“Termasuk pembahasan RUU Kesehatan Harus Sinkron Antara Baleg, DPR, dan Kementerian Kesehatan,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago.
Politikus NasDem itu juga menyambut baik penugasan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Penugasan itu tertera dalam surat Pimpin DPR dengan nomor T/160/PW01/02/2023 tertanggal 14 Februari 2023 yang ditandatangani Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Menurutnya, fungsi Baleg adalah melakukan sinkronisasi terhadap hasil bahasan Komisi IX dengan Kementrian Kesehatan sebagai perwakilan parlemen dan pemerintah. Sehingga, Baleg tak langsung membahasa RUU tersebut seperti yang dilakukan saat pembahasan RUU Cipta Kerja (Ciptaker).
“Posisi ini sudah benar, agar parlemen tidak mengulangi kembali kesalahan yang sama sebagaimana RUU Ciptaker yang justru dibahas langsung di Baleg, tidak melalui Komisi terkait,” kata Irma.
Dia memastikan, Komisi IX akan segera melaksanakan pembahasan RUU Kesehatan, agar dapat segera dirampungkan dan disampaikan ke Baleg untuk dilakukan sinkronisasi. Hal ini sekaligus menepis adanya dugaan kongkalingkong antara pemerintah dan Baleg.