JawaPos.com – Indonesia memegang tampuk kepemimpinan ASEAN tahun ini. Tema ASEAN matters: Epicentre of Growth menggarisbawahi untuk fokus menjadi kawasan ekonomi yang tumbuh cepat, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan harapan, mampu mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat kawasan.
“Kita akan saving the tone dari sisi bagaimana ASEAN ke depan,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo dalam media briefing di Hilton Bali Resort, Senin malam (27/3).
Menurut dia, negara-negara Asia Tenggara memiliki masalah yang mirip. Yakni, Inflasi, scarring effect pandemi Covid-19, dan dampak suku bunga tinggi terhadap pelemahan ekonomi. Masalah itu harus segera dibahas dan diatasi dalam jangka pendek.
Apalagi, ASEAN merupakan kumpulan negara emerging (berkembang). Mudah terdampak kebijakan negara maju. Pada saat tekanan dari global muncul, aliran modal keluar dari negara-negara kawasan. Nilai tukar mata uang juga tertekan.
“Menilik kondisi tadi, Indonesia tidak salah membawa tiga pilar sisi. Recover, rebuilding, dan sustainable economic,” imbuhnya.
Oleh karena itu, dalam keketuaan di ASEAN, Indonesia mencoba membahas bersama normalisasi kebijakan yang digunakan melalui bauran. Tidak mengandalkan kebijakan konvensional seperti hanya suku bunga dan likuiditas. Karena dinamika permasalahannya lebih luas dan kompleks. Bukan hanya masalah perbankan tapi juga geopolitik.
“Dari tekanan itu kita mengusulkan untuk melakukan dialog mengenai policy mix. Sehingga bisa menjadi acuan negara-negara di kawasan. Country circumstances. Semua tergantung daripada kondisi masing-masing negara,” jelas Dody.
Salah satu upayanya adalah mengurangi ketergantungan kepada mata uang utama, dolar Amerika Serikat (USD). Sebab, jika hanya bergantung terhadap satu atau dua mata uang, tentu gejolak dari negara-negara pemilik mata uang itu akan berpengaruh ke dalam negeri.
Artinya, ketika ASEAN bisa mengurangi sedikit ketergantungan dengan global currency, maka akan keluar dengan satu opsi bahwa gejolak dan kerugian akan berkurang. Forum akan mencoba lebih mengandalkan local currency transaction di kawasan. Bahkan menggunakan digital payment. Misalnya QR Indonesia dan Thailand yang sudah terhubung.
“Dengan digital payment connectivity kita bisa terinterkoneksi dengan kawasan. Itulah kita lebih awal dari negara lain mengimplementasikan apa yang kita capai di G20 lalu. Adanya crossborder payment. Ini adalah salah satu bengi ASEAN epicentrum of growth,” tandas Dody.
Terpisah, DBS Group Research menilik kemampuan Indonesia dalam peran sentralnya di ASEAN berdasarkan atas sejumlah faktor. Yakni, memiliki demografi yang mendukung dengan 273 juta jiwa. Negara dengan penduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Penduduknya relatif muda dengan usia kerja yang meningkat rata-rata 1,8 persen dalam satu dasawarsa terakhir. Dengan usia median yaitu 29 tahun. Bank Dunia juga menilai perekonomian Indonesia diperkirakan kembali ke status pendapatan menengah ke atas dalam beberapa tahun ke depan.
“Hal tersebut memberikan peluang unik untuk mendorong pertumbuhan melalui perluasan sumber tenaga kerja, dan upah kompetitif, yang kemungkinan besar meningkatkan PDB per kapita,” kata Senior Economist Bank DBS Radhika Rao.
Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah. Meliputi komoditas pertanian, minyak mentah, dan logam/mineral. Termasuk di dalamnya minyak kelapa sawit, karet, batu bara, bijih besi, bijih tembaga, nikel, gas alam, dan timah.
Sepuluh tahun terakhir, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kemampuan manufaktur di industri hilir. Seperti, produksi baja, alumunium, kaca, hingga baterai kendaraan listrik (EV). Indonesia juga memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dan menjadi rumah bagi lahan gambut terbesar di dunia. “Menyimpan sejumlah besar karbon, yang dapat memitigasi dampak perubahan iklim,” jelasnya.