JawaPos.com – Aroma kunyit, laos, dan ketumbar menguar dari teras rumah. Menimbulkan aroma kuat saat ditumbuk bersama bumbu rempah lainnya. Di antaranya, ketumbar, merica, bawang, kencur, kemiri, jintan, dan cabai.

Setelah ditumbuk halus, adonan bumbu itu digoreng. Hmmmm, aromanya kian menusuk hidung. Itu resep khusus untuk masakan otak-otak bandeng. ’’Namanya bumbu jangkep,’’ kata Muchoiriyah kepada Jawa Pos, Minggu (26/3).

Suami Muchoiriyah, Mochmad Djaichun, ikut sibuk membantu di dapur. Dia membelah beberapa ekor bandeng. Duri ikan dipisahkan dari dagingnya. Setelah memastikan bersih dari duri, Djaichun mengiris daging ikan bandeng. Yang disisakan hanya kulit, kepala, dan ekor.

Lalu, daging ikan itu ditumbuk sampai halus. ’’Bikin otak-otak bandeng memang cukup rumit,’’ tutur Muchoiriyah.

Meski sedikit menguras energi, pasutri tersebut tetap semangat. Sebab, menu spesial itu akan disuguhkan untuk berbuka puasa di musala bersama warga RT 2, RW 4, Kelurahan Tambak Osowilangun, Benowo.

Menjelang siang, beberapa warga lain berdatangan ikut membantu. Mereka sama-sama keluarga nelayan yang masih tersisa di kawasan padat industri itu. ’’Olahan bandeng ini jadi menu wajib buka puasa bersama nanti (kemarin, Red),’’ tutur Djaichun.

Selain otak-otak bandeng, ada olahan lain. Misalnya, kerupuk dan bonggalan. Semua berbahan ikan bandeng. Membuat olahan bandeng saat Ramadan menjadi tradisi unik masyarakat nelayan Osowilangun. Mereka mengambil bandeng dari tambak untuk dimasak, lalu dibawa ke musala untuk dinikmati beramai-ramai saat berbuka puasa. Tradisi itu sudah dilakukan turun-temurun sampai sekarang.

Konon, tradisi tersebut sangat dianjurkan ulama dan tokoh agama setempat almarhum KH Mas Muhammad Nur Muhibbin. ’’Ini juga jadi bentuk rasa syukur karena dipertemukan dengan bulan Ramadan,’’ ujar Kastari, warga lainnya.

Kini, nelayan Osowilangun berupaya keras untuk terus mempertahankan tradisi yang sudah mengakar tersebut. Meski, kondisinya sudah tidak mudah lagi. Itu disebabkan lahan tambak semakin mengikis.

Maklum, banyak lahan tambak yang sebelumnya dikuasai warga berubah fungsi menjadi pergudangan atau pabrik. ’’Tambak mungkin tersisa 10 persen. Selebihnya jadi tempat industri,’’ tutur Kastari.

Bahkan, banyak nelayan yang menggarap bukan tambak milik sendiri. Melainkan menyewa ke pihak ketiga atau perusahaan. Sebelum dibangun oleh pemiliknya, sementara waktu para nelayan menyewa untuk ditaburi benih bandeng atau udang. Hasilnya pun tidak seberapa. Sebab, kualitas bandeng sangat terpengaruh kondisi lingkungan dan cuaca.

’’Dulu, bandeng besar-besar. Sekarang kecil-kecil karena cuaca tidak mendukung,’’ sambung Mujiono, nelayan lain.

By admin