JawaPos.com – Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan fenomena kecelakaan tabrak belakang sering terjadi di jalan tol. Penyebabnya, karena belum terwujudnya kebijakan zero odol atau over dimension and over load.
“Cukup marak kecelakaan akibat tabrak belakang terjadi di jalan tol. Seiring dengan belum terwujudnya kebijakan zero truk odol, fenomena ini akan terus terjadi,” kata Djoko dalam keterangan tertulis, Minggu (26/3).
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut juga sulit terwujud lantaran Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) masih meminta penundaan setiap kebijakan akan diterapkan.
“Catatan dari Ditjenhubdat (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat) menunjukkan upaya penundaan itu terjadi di tahun 2019, 2021 dan tahun 2023,” jelas Djoko.
Ia berharap, Kemenperin dan Apindo memiliki empati dengan keselamatan lalu lintas. Dengan begini, ekonomi dan keselamatan akan terwujud seperti di banyak negara lain.
Menurut catatannya, dalam kurun setahun terakhir setidaknya ada dua tokoh yang meninggal dunia di jalan tol, karena menabrak belakang truk.
Pertama, kecelakaan lalu lintas yang menimpa mantan Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak di Jalan Tol Pemalang pada 22 Agustus 2022.
Kemudian ada pebulu tangkis Syabda Perkasa Belawa yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Tol Pemalang pada Senin, 20 Maret 2023. Syabda meninggal dunia setelah mengalami cedera berat di kepala dan mendapat perawatan di rumah sakit.
Lebih jauh, dia mengungkap bahwa jalan tol di Indonesia masih menyumbangkan rasio kecelakaan lalu lintas per kilometer tertinggi. Penyebabnya seperti pengemudi mengantuk, kurang konsentrasi, lelah, kendaraan over speed, tabrak belakang truk karena lambat sebagai akibat kendaraan kelebihan dimensi dan kelebihan muatan, serta ban pecah.
Bahkan, jalan Tol Cipali tercatat sebagai jalan tol dengan fatalitas tertinggi di dunia dengan rata-rata 1 korban jiwa per kilometer. Di samping itu, masih lemahnya pengawasan terhadap kendaraan logistik.
Data yang terkumpul dari sejumlah jembatan timbang yang dioperasikan Ditjenhubdat, Kemenhub menyebutkan pemeriksaan terhadap kendaraan logistik yang tidak melanggar 88 persen, sedangkan yang melanggar 12 persen.
“Pelanggaran tertinggi adalah daya angkut sebanyak 67,7 persen, kemudian kelengkapan dokumen (29,02 persen), tata cara muat (2,1 persen), persyaratan teknis (0,7 persen), dan dimensi (0,5 persen),” tandasnya.