Berbagai macam barang di rumah Wiena, 62, disulap menjadi lebih cantik dengan lukisan bunga. Mulai perabot rumah, alat makan, teko, hingga gerabah. Dinding teras bahkan tembok seberang jalan rumah tidak dia biarkan lolos dari goresan tangannya.

SAMPAI kamar mandi itu kemarin pintunya sudah mulai rusak, tak lukis jadi bagus lagi. Saya bilang barang yang sudah jelek jangan dibuang, tak betulin dulu,” ujarnya, lantas tertawa.

Pemilik nama lengkap Nunung Sripuguh itu tengah melanjutkan lukisannya di piring keramik saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di kawasan Waru, Sidoarjo, pekan lalu. Minatnya pada seni lukis beralih haluan dari kanvas ke keramik.

”Dari dulu minat di art. Sejak muda suka gambar, melukis, tapi dulu di kanvas,” ucap perempuan 62 tahun itu. Jika awalnya belajar otodidak, ketika tertarik melukis di media keramik, perempuan yang akrab disapa Wiena itu terbang ke Bangkok untuk mendalaminya pada 2017. ”Itu gurunya juga sudah sepuh loh,” sambungnya.

Dia berangkat bersama empat kawan sekomunitasnya. Wiena yang usianya paling senior. Di sana, dia fokus mengambil objek bunga untuk ditekuni. Cukup singkat, hanya sepekan. ”Saya memang kebanyakan melukis bunga,” ungkap nenek tiga cucu itu. Hanya dia yang kini masih aktif mempraktikkan ilmu yang didapat dari Bangkok.

Menurut dia, melukis di keramik jauh lebih susah dibandingkan kanvas. Cat air yang digunakan pun khusus dia beli dari Bangkok. Setelah dilukis, keramik juga perlu melalui proses pembakaran. ”Catnya lebih cair, medianya juga lebih halus. Terus pas dibakar kan satu per satu, kalau kesenggol sudah deh jelek, kalau di kanvas kan enggak,” jelasnya.

Tak hanya melukis, ibu tiga anak itu juga menekuni decoupage, seni menggunting dan menempel. Meski terdengar mudah, decoupage tidak sekadar asal gunting dan tempel. Ada teknik tersendiri. Hanya yang berjiwa seni yang bisa membuat hasilnya lebih hidup. ”Kalau tingkat dasar tinggal nempel di benda. Kalau tingkatnya sudah tinggi, dicat dulu, pakai dilukis. Jadi tidak terlihat kalau tempelan,” ujar Wiena.

Karena itu, kepada murid-muridnya, Wiena meminta untuk mencurahkan seluruh fokusnya saat membuat karya seni. Baik melukis di keramik maupun decoupage.

Dia mengajar hanya untuk kesenangan. Tidak rutin. Hanya jika ada yang meminta diajari. ”Mengumpulkan paling nggak lima orang lah baru bisa jalan (kelas). Kadang di sini (rumah), kadang di luar kayak di kafe-kafe. Kalau nggak gitu, dipanggil untuk mengajar di RW-RW,” tuturnya.

Mayoritas muridnya adalah ibu-ibu yang menaruh minat pada seni. Jadi, harus telaten. Dia juga tidak mematok bayaran untuk itu. ”Kalau saya intinya menularkan ilmu. Di samping untuk diri saya sendiri senang, mereka juga senang. Memberi ilmu itu kan harus ikhlas,” ujar Wiena.

Saat tidak sedang mengajar, dia mengisi hari-harinya dengan melukis apa pun. Wiena kerap membeli barang-barang jadul untuk dipermak kembali. Sebagian karya dia simpan, sebagian lagi biasanya ditawar kawan-kawannya yang tertarik. ”Sebenarnya bukan untuk komersial. Murni kesenangan saja, tapi kalau ada yang mau ya tawar saja,” imbuhnya.

Wiena bisa merampungkan satu lukisan dalam satu sampai dua minggu. Bergantung kerumitan dan suasana hati. Saat sedang tidak fokus, pengerjaannya bisa sampai satu bulan. Tak hanya melukis, Wiena juga menekuni bidang kuliner dan fotografi.

Sebagai orang yang senang belajar hal baru, dia tidak segan meminta diajari desain digital pada mereka yang lebih muda. ”Anak-anakku malah nggak ke arah desain. Saya belajar itu desain di Canva sama anak-anak muda di masjid,” ujarnya.

By admin