PENGARSIPAN film belum maksimal. Banyak kendala yang dihadapi. Mulai minimnya sosialisasi hingga terbatasnya ruang penyimpanan digital. Butuh tambahan dana agar proses pengarsipan lebih maksimal.
’’Ada dua jenis karya. Karya cetak dan karya rekam,” terang Direktur Deposit dan Pengembangan Koleksi Perpustakaan Perpusnas Emyati Tangke Lembang saat ditemui Jawa Pos di Perpusnas pada Jumat (24/3). Karya rekam yang dimaksud adalah musik dan film.
Selama ini, untuk menjalankan fungsi Perpusnas sesuai UU 13/2018, Emyati mengatakan bahwa pihaknya menghimpun materi dari produsen film. Sebenarnya, regulasi mewajibkan para produsen film menyerahkan salinan karyanya ke Perpusnas. Dua salinan untuk Perpusnas dan satu salinan lain ke perpustakaan provinsi. Kewajiban itu harus sudah dipenuhi dalam kurun waktu setahun setelah karya terbit. ’’Kalau tidak dilakukan, bisa kena sanksi,” ungkapnya.
Nantinya, di Perpusnas, semua karya akan dicatat dan diberi nomor induk. Selanjutnya, dimasukkan ke katalog. Nomornya dimulai dari 000 sampai 900 berdasar Dewey Decimal Classification. ’’Film masuk nomor 700, seni dan artistik,” terang Emyati.
Tatat Kurniawati, ketua Kelompok Pengelolaan Koleksi Hasil Serah Simpan Karya Cetak Karya Rekam Perpusnas, mengungkapkan bahwa upaya untuk melestarikan karya film anak bangsa sudah dimulai pada 1990. Tepatnya lewat UU 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak Karya Rekam. Regulasi itu kemudian direvisi menjadi UU 13/2018.
Pada awalnya, salinan yang diserahkan ke Perpusnas berupa analog. Untuk film, wujudnya adalah kaset betamax atau DVD. Seiring perkembangan zaman, yang diserahkan bukan hanya analog, tapi juga digital. Untuk penyerahan digital, kata Tatat, produsen film bisa mengirimnya melalui aplikasi e-Deposit milik Perpusnas. Mereka bisa mengunggah secara mandiri lewat e-Deposit.
’’Tapi, mereka tetap harus menyerahkan bentuk analog ke Perpusnas, bisa diantar langsung atau dikirim,” terangnya.
Sayang, sebagian besar produsen tidak menganggap pengarsipan oleh negara itu penting. Rata-rata, mereka enggan mengirimkan salinan ke Perpusnas karena tidak membawa manfaat apa pun bagi mereka. Menurut Tatat, kurangnya kesadaran produsen itu juga karena minimnya sosialisasi oleh Perpusnas.
Ada ketetapan sanksi untuk produsen yang tidak menaati peraturan. Dalam UU sebelumnya, hukumannya pidana. Sedangkan, dalam UU terbaru, hukumannya adalah sanksi administratif. ’’Sebenarnya ada sanksi lanjutan berupa pembekuan izin usaha sampai pencabutan izin usaha. Tapi, itu kewenangan kementerian dan lembaga lain,” papar Tatat.
Kendala lain yang dihadapi Perpusnas adalah soal kapasitas penyimpanan digital pada sistem e-Deposit. Menurut Tatat, saat ini kapasitasnya hanya 10 tera. Sebanyak 9 tera sudah terisi, tinggal 1 tera yang kosong. ’’Satu tera itu hanya untuk satu film saja,” ungkapnya. Itu berarti, belum ada karya film yang masuk e-Deposit, karena memang kapasitasnya yang terbatas.
Menurut dia, jika sosialisasi digencarkan, kemudian produsen film bersemangat mengunggah secara mandiri melalui e-Deposit, pasti tempat data digital itu tidak akan mampu menyimpannya. Maka, dibutuhkan peningkatan kapasitas. Pihaknya sudah mengajukan tambahan kapasitas menjadi 25 tera. Tentu, penambahan kapasitas itu membutuhkan anggaran yang cukup besar.
Pengarsipan Film Nasional Bisa Diambil Negara Lain kalau Tak Serius
Pengarsipan film penting bagi sejarah bangsa. Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki. Menurut dia, UU telah mengamanatkan pengarsipan kepada pemerintah. ’’Pemerintah harus sungguh-sungguh melaksanakan amanat undang-undang. Pengarsipan itu sangat penting,” ucapnya.
Guru besar ilmu sosial Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu mengatakan bahwa pengarsipan film menunjukkan sejarah bangsa secara kultural dan ekonomi. Menurut Zainuddin, film adalah rekaman kesadaran masyarakat pada masanya. Itu berlaku untuk semua tema. Baik drama, laga, maupun horor.
’’Itu mencerminkan kesadaran budaya masyarakat pada saat itu, yang terefleksikan atau yang direfleksikan oleh penggiat perfilman,” paparnya.
Generasi mendatang akan bisa mengetahui sejarah bangsanya melalui film-film yang diarsipkan. Mereka bisa memahami sejarah peradaban bangsanya. ’’Maka, pengarsipan film sangat penting,” tegas Zainuddin.
Lebih lanjut, dia menyatakan, jika pemerintah Indonesia tidak menganggap serius pengarsipan film, aktivitas itu bisa jadi malah dilakukan oleh lembaga internasional. Jika itu terjadi, negara-negara lain akan mendapatkan keuntungan sangat besar. Sebab, mereka bisa mendapatkan data-data karya anak bangsa.
Selain film dan musik, perhatian untuk arsip media perlu ditingkatkan. Zainuddin mengungkapkan, saat berkunjung ke British Library di Inggris, dirinya terkejut melihat koleksi Alquran tulisan tangan yang berasal dari Sumenep. ’’Itu khazanah intelektual abad 17,” bebernya.
Karena itulah, Zainuddin mengimbau kepala Perpusnas agar serius memperhatikan koleksi kuno di Inggris itu. Menurut dia, pemerintah Indonesia harus bisa membawa pulang karya berharga tersebut. Kondisi seperti itu bisa saja terjadi pada karya rekam film. ’’Kita akan tercerabut dari sejarah perfilman dan akan tercerabut dari akar sejarah kita sendiri,” pungkasnya.