Hari Film Nasional diperingati tiap 30 Maret. Namun, publik biasa menyebut Maret sebagai Bulan Film Nasional. Selain kuantitas dan kualitas produksi film dalam negeri, pengarsipan sebagaimana dimandatkan UU 33/2009 selalu menjadi topik perbincangan menarik.
“FILM itu artefak bangsa,” kata Panji Wibisono, pamong budaya ahli muda bidang perfilman Kemendikbudristek, saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin (25/3) siang.
Agar artefak terpelihara dengan baik, diperlukan kerja-kerja konservasi. Panji mengatakan bahwa konservasi harus dilakukan secara berkala. Itu berguna untuk melestarikan materi fisik dan menyelamatkan konten film tersebut.
Direktorat Perfilman, Musik, dan Media (PMM) di bawah naungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan Kemendikbudristek mengemban amanah UU 33/2009. Merujuk pada Permendikbud 41/2019, pengarsipan film diterjemahkan sebagai rangkaian kegiatan perolehan, pelestarian, dan pengelolaan arsip film. Aktivitas tersebut dilakukan di Gedung Arsip Kemendikbudristek yang terletak di Puloraya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Panji menuturkan bahwa pengarsipan yang mereka lakukan meliputi digitalisasi dan restorasi. Proses digitalisasi berjalan relatif lebih lancar ketimbang proses restorasi. Saat ini PMM sudah berhasil mengalihkan sejumlah judul film zaman dulu ke arsip digital. Sedangkan proses restorasi baru berhasil diterapkan pada empat judul film.
Terkait digitalisasi, Panji mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan pengarsipan film yang diproduksi pada rentang 1926 sampai 2010. Pada kurun waktu itu, hampir semua film direkam pada media pita seluloid. Selepas 2011 sampai sekarang, produksi film sudah menggunakan teknologi digital. Itu artinya, pengarsipan film-film yang diproduksi pada 2011 sampai sekarang jauh lebih mudah ketimbang periode sebelumnya.
Panji menyebut produksi film pada 2010 sebagai transisi. Sebagian kecil film sudah diproduksi dalam format digital. Tetapi, sebagian besar di antaranya masih dalam pita seluloid. Karena itulah, PMM membutuhkan bantuan dari masyarakat untuk mendapatkan film-film dalam bentuk pita seluloid tersebut.
Khusus film-film produksi 1960-an sampai 1970-an, PMM harus bekerja ekstrakeras. Sebab, rumah produksi yang membuat film pada tahun-tahun tersebut sudah tidak lagi jelas keberadaannya.
’’Kami bekerja sama dengan kolektor perorangan maupun dengan komunitas atau paguyuban layar tancap,’’ kata Panji. Sering kali, dari tangan para kolektor perorangan itulah, Kemendikbudristek justru mendapatkan film-film yang menjadi sasaran pengarsipan.
Dalam proses digitalisasi, Kemendikbudristek menggandeng para profesional di bidangnya. Karena secara garis besar hanya mengalihkan medianya dari pita seluloid ke digital, kualitas film yang diarsipkan akan sama persis dengan kualitas perekamannya. Sedangkan proses restorasi akan menghasilkan film dengan kualitas yang lebih bagus. Bahkan, sangat layak untuk diputar ulang.
Semua itu sebanding dengan upaya yang dilakukan dan waktu yang dibutuhkan untuk merestorasi film. Karena prosesnya yang jauh lebih berat dan detail, restorasi butuh waktu yang lebih panjang. Film Kereta Api Terakhir yang tuntas direstorasi pada 2019, misalnya. Restorasinya membutuhkan waktu kurang lebih enam bulan.
Keterlibatan banyak tenaga ahli dalam proses restorasi juga sempat membuat upaya terhenti pada 2020. Pandemi Covid-19 yang memicu pembatasan mobilitas juga memaksa proses restorasi film terhenti. Menurut Panji, upaya restorasi akan kembali dilanjutkan tahun ini. Namun, dia belum bisa menyebutkan film apa yang akan direstorasi berikutnya.
Panji menambahkan, proses restorasi akan memantik serangkaian kegiatan lain yang berkaitan dengan film nasional. Dua di antaranya adalah pemutaran film untuk umum atau nonton bareng (nobar) dan seminar atau gelar wicara pasca pemutaran film. Topiknya bisa seputar film atau bahkan tentang proses restorasi film itu sendiri.
Pada dasarnya, semua film bisa direstorasi. Namun, PMM mengutamakan film-film yang utuh. Sebab, restorasi film-film yang terpotong tidak akan bisa diikuti dengan pemutaran. Tidak mungkin memutar film yang tidak utuh. Hal penting lainnya adalah kesadaran pemilik film untuk tidak melakukan restorasi sendiri. Itu supaya filmnya tidak double.
Sebelum merestorasi film, PMM biasanya mempertimbangkan sejumlah faktor. Yang utama adalah tema, karakter, dan popularitas atau prestasi karya itu pada masanya.