Perhelatan Oscars yang ke-95 baru saja digelar, tampil dengan warna berbeda dari sebelumnya.

SAYA menyaksikan siaran langsung perhelatan itu melalui saluran Disney Hotstar, melihat wajah-wajah Asia dengan senyum gembira naik ke panggung menerima piala Oscars: Daniel Kwan (sutradara bersama Daniel Scheinert), Michelle Yeoh (aktris utama), dan Key Huy Quan (aktor pendukung) untuk film Everything Everywhere All at Once (EEAAO), Kartiki Gonsalves (sutradara) untuk film dokumenter The Elephant Wisperer, dan Keeravani (penata musik) untuk film Naatu Naatu. Entakan energik dari tarian dan nyanyian India dari soundtrack film Naatu Naatu yang disajikan di panggung Oscars pun memperkuat aroma Asia pada perhelatan Oscars tahun ini.

Oscars kali ini seolah hendak menampik isu Oscars so white. Istilah itu dilabelkan pada perhelatan Oscars di masa lalu yang dianggap terlalu memihak kulit putih mendominasi daftar nomine dan pemenang. Oscars tahun ini justru menghadirkan wajah-wajah Asia. Kazuo Ishiguro, seorang keturunan Jepang peraih Nobel, masuk daftar nonimasi sebagai penulis adaptasi skenario terbaik melalui filmnya, Living. EEAAO mendapatkan sebelas nominasi Oscars dan memenangkan tujuh piala Oscars untuk aktor pendukung, aktris pendukung, aktris utama, editing, sutradara, skenario asli, dan film terbaik. EEAAO bercerita mengenai keluarga imigran China di Amerika. Evelyn Quan Wang menjalankan usaha penatu bersama suaminya, Waymond. Mereka memiliki seorang putri, Joy, yang menjalin hubungan lesbi dengan Becky. Tatkala Evelyn bersama Waymond menghadapi pemeriksaan dari petugas IRS (dinas pajak) atas usaha penatu yang ia jalankan, tiba-tiba tubuh Waymond diambil alih oleh versi dirinya yang lain dari alphaverse. Waymond melibatkan Evelyn dalam universe-nya itu. Dari sinilah kemudian cerita dari dunia multiverse mereka muncul bergantian, paralel dengan dunia riil yang mereka jalani di Amerika.

Tiga tahun sebelumnya, pada Oscars yang ke-92, sebuah film dari Korea Selatan berjudul Parasite memenangkan empat piala Oscars, termasuk film terbaik dan sutradara terbaik (Bong Joon-ho). Setahun setelah kemenangan Parasite, Chloe Zhao, seorang sutradara kelahiran Beijing, China, memenangkan piala Oscars untuk sutradara terbaik melalui film Nomadland. Jauh sebelum ini, wajah-wajah Asia sebenarnya sudah beberapa kali muncul dalam perhelatan Oscars. Hanya, memang tidak sekuat pada perhelatan tahun ini. Misalnya, Ken Watanabe dalam Last Samurai (1994) masuk nominasi Oscars pemain pendukung terbaik dan Ang Lee sebagai nomine sutradara terbaik dalam Life of Pi (2012) dan Crouching Tiger Hidden Dragon (2000).

Munculnya wajah-wajah Asia tersebut, terutama pada Oscars tahun ini, dapatkah kita katakan bahwa hal ini menandai peralihan Oscars yang dalam sejarahnya dianggap eksklusif dengan labelnya Oscars so white menuju Oscars yang inklusif dengan memberi ruang bagi keberagaman para pembuat film dan aktor non-kulit putih, terutama yang keturunan Asia? Pertanyaan ini hanya dapat kita jawab sepuluh atau dua puluh tahun ke depan dengan menghitung daftar nomine dan pemenangnya. Menurut catatan New York Times, sepanjang sejarah Oscars berlangsung sejak tahun 1929 hingga perhelatan Oscars tahun lalu, hanya ada 23 nomine (satu persen) orang Asia dari 1.808 nomine lainnya untuk seluruh kategori akting dan hanya empat sebagai pemenang. Michelle Yeoh adalah orang pertama dari Asia yang memenangkan piala Oscars untuk aktris utama terbaik dan menambah daftar itu. Sementara itu, Kwan melalui EEAAO adalah sutradara keturunan Asia ketiga yang memenangkan piala Oscars setelah Joon-ho dan Zhao.

Jika kita bandingkan tiga film terbaik Oscars dari para sutradara keturunan Asia itu: Parasite, Nomadland, dan EEAAO, masing-masing memiliki perbedaan baik secara gaya, bentuk, isi, dan isu yang dibicarakan. Jika Parasite mengangkat isu ketimpangan masyarakat kelas atas dengan kelas bawah yang kemudian menimbulkan suatu kecemburuan dan konflik dengan latar budaya Korea Selatan yang kental, Nomadland mengangkat isu persoalan yang sangat Amerika, yaitu orang-orang homeless yang hidup berpindah-pindah dengan tidur di mobil pribadi. EEAAO adalah kombinasi dari keduanya, mengangkat isu mengenai keluarga imigran China dengan segala problematikanya, yang menjadi bagian dari masyarakat Amerika dan harus berhadapan dengan petugas IRS.

Perbedaan latar belakang kehidupan para sutradara itu, meskipun sama-sama keturunan Asia, menentukan isu dan perspektif dari film yang diangkat. Kwan lahir dan lama tinggal di Amerika serta menjadi warga negara Amerika. Zhao sejak remaja hidup dan akrab dengan kehidupan di Amerika. Sementara Joon-ho menjalani hidup sejak kecil hingga kini di Korea Selatan dan kesulitan berbahasa Inggris. Persoalan sosial budaya di mana pembuat film tersebut hidup tentu memengaruhi apa yang ia bicarakan di dalam filmnya. Pengaruh itu tidak hanya menyangkut isu cerita, tetapi juga pada gaya dan bentuk dari film. Pada EEAAO, adanya pembabakan di film secara literal: part I, II, dan III serta editing cepat dan melompat-lompat dari satu plot ke plot lain secara tidak linear, mengingatkan kita pada film Kill Bill dan Pulp Fiction-nya Quentin Tarantino. Cerita yang berlapis-lapis, kait-mengait antara begitu banyak peristiwa yang terjadi di universe satu dengan universe lainnya juga mengingatkan kita pada film science fiction Matrix, Inception, atau film-film Marvel ala Hollywood.

Dari sini timbul pertanyaan, dengan pengecualian Parasite, apakah wajah Asia benar-benar terepresentasikan dalam film yang mereka buat atau Asia sekadar merujuk pada wajah-wajah fisik Asia? (*)

NURMAN HAKIM, Sutradara 3 Doa 3 Cinta, dosen Fakultas Film dan Televisi IKJ

By admin