”Lalu, dengan apa kau akan menghidupi anakku?” Haji Iwan bertanya kepadanya tanpa memalingkan wajah sama sekali dari layar televisi dengan volume yang jelas disetel untuk mengintimidasi kelelakian Kali.
LAKI-LAKI yang akhirnya menentukan Kali kelak bahagia atau nestapa itu duduk bersandar sambil sesekali membetulkan songkoknya. Sepanjang kehadiran Kali di rumahnya, mata Haji Iwan tak pernah lepas dari pertandingan renang paralimpiade di televisi. Sontak, Kali merasa para atlet yang sedang berlomba mencapai garis akhir itu jauh lebih beruntung. Mereka mendapatkan perhatian Haji Iwan sepenuhnya. Di tengah segala keterbatasan, mereka juga tahu benar apa yang mereka inginkan. Sementara dirinya?
Kali tentu tahu betul apa alasannya bertandang. Namun, laki-laki kekar itu ragu keinginannya bisa ia wujudkan. Nasibnya jauh lebih buruk daripada nelayan-nelayan kampungnya yang ingin melaut, tetapi bahan bakar subsidi jatah mereka diserobot perusahaan industri. Setidaknya, ketika solar kembali tersedia, mereka akan melaut lagi. Dirinya? Ia adalah perahu di tepi laut, teronggok kehabisan solar berbulan-bulan, lalu datang tsunami meluluhlantakkan.
Kali tak pernah menyesali keputusannya tidak menamatkan SMP. Orang-orang di kampungnya adalah contoh betapa kekayaan tak mensyaratkan gelar dari universitas. Selama kau punya otak –dan dari pengalaman sebagian besar kawannya, otot–yang berfungsi dengan baik, kau akan selamat. Itu prinsip hidup Kali. Prinsip yang teguh ia pegang sebagaimana ia yakin air sungai selalu mengalir ke laut. Sebelum hari itu.
”Bapak juga tidak tamat.”
Kali teringat apa yang ia jawabkan ke orang tuanya ketika diminta kembali ke bangku sekolah. Bapaknya baru saja menerima surat pemanggilan dari sekolah yang menyatakan ketidakhadiran Kali selama dua minggu berturut-turut tanpa keterangan.
”Tapi, Nak….”
Seolah membaca apa yang ada di pikiran bapaknya, Kali berkata lagi, ”Pegawai negeri pun tidak semuanya kaya, Pak. Malah mereka punya lebih banyak utang daripada kita. Mereka justru pinjam uang ke orang yang tidak sekolah. Lihat saja, rumah Haji Iwan selalu ramai mereka datangi.”
Di kampung mereka, Haji Iwan adalah rujukan sempurna kalau mencari sosok orang berada. Ia punya belasan kapal nelayan, rumah paling bagus, dan puluhan pekerja yang menggantungkan hidup kepadanya. Dan jangan lupa, dalam urusan dengan Kali, Haji Iwan adalah seorang penentu kebahagiaan.
Bapak Kali diam saja. Seandainya saja dia membujuk lebih keras, atau membalas setiap ucapan anaknya, atau menyuruh istrinya berpura-pura menangis setiap Kali menolak memenuhi keinginan mereka, mungkin hari itu akan berakhir berbeda. Tapi Bapak Kali tahu, bantahan anaknya benar belaka.
Kali bukannya tidak punya otak. Sejak duduk di sekolah dasar hingga kelas tiga SMP, namanya selalu bercokol di lima besar peringkat kelas. Hanya butuh satu tamparan guru untuk menghapus keinginan Kali tetap bersekolah. Guru itu teman baik bapaknya. Tak jarang ia diminta membawa ikan segar ke rumah laki-laki itu setiap bapaknya pulang melaut. Kali tak habis pikir, mengapa hanya karena salah menuliskan gelar kesarjanaan gurunya, dia mendapat kenang-kenangan di pipi. Toh, bukan salahnya kalau Pak Batola, gurunya itu, memilih kuliah di jurusan ekonomi dan memperoleh gelar SE1. Untuk remaja seusia Kali, terlebih di kampung tempat tinggalnya, tamparan seperti yang dialaminya itu bisa berakhir tidak baik-baik saja bagi si pelaku. Namun, alasan orang-bisa-kaya-meski-tak-bersekolah Kali pilih demi menjaga hubungan baik keluarga mereka.
***
”Kalau saya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, apakah Bapak mau menerima saya?”
”Buktikan saja dulu. Setelah itu, baru kita bicara lagi.”
Malam itu, Kali pulang ke rumahnya seperti nelayan yang tak membawa tangkapan apa-apa, selain kecemasan karena perongkosan yang semakin membengkak.
Di kamarnya, ia berbaring sambil memandangi foto Dana, anak bu ngsu Haji Iwan. Jantung Kali langsung bergetar serupa mesin kapal yang baru dinyalakan. Ia meyakinkan diri, bukan sepasang lesung pipi di foto itu yang membuatnya jatuh hati dengan gegabah. Kali ingat pertemuan pertama mereka di satu angkot pada suatu malam yang akan selalu diingat Kali sebagai kali pertama ia menyesal telah hengkang dari sekolah. Dana yang baru pulang dari kampusnya serius membaca tanpa peduli angkot yang terguncang-guncang menghindari ceruk-ceruk jalan. Kalau saja Kali anak kuliahan, ia pasti punya keberanian untuk sekadar berbasa-basi.
Dana barangkali tak akan pernah sadar akan kehadiran seorang Kali di kampung mereka jika saja pada malam itu angkot yang mereka tumpangi tidak dihadang dua pemuda tanggung.
Kali masih sibuk berdebat dengan nyalinya ketika sekonyong-konyong angkot berhenti. Dana yang duduk di kursi paling ujung terlempar menubruk Kali. Hanya ia dan Dana yang menjadi penumpang saat itu, dan sopir yang ia lihat sudah berkeringat dingin. Entah dari mana keberanian Kali datang. Ia segera turun, melangkah dengan penuh percaya diri mendekati remaja yang sedang berusaha tampak menyeramkan di hadapan mereka.
Dana memandangnya dengan pandangan apa-kamu-cari-mati? yang dijawab Kali dalam hati, demi-kamu-aku-siap-menyongsong-apa-pun.
Salah seorang remaja itu, Si Ceking, –ide membegal mustahil berasal dari dirinya–kaget melihat laki-laki bertubuh tiga kali lebih besar darinya melompat turun dari angkot. Dia melirik kawannya, menakar apakah Si Gempal siap sehidup semati dengannya. Namun, temannya itu tak kalah panik. Meski ia memegang parang, Kali bisa melihat kalau anak itu gemetar. Kali tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia mendekati motor yang terparkir dekat mereka, menendangnya dengan kekuatan penuh, yakin si gadis dalam angkot melihat semua kejadian itu.
”Ayo, sini, saya ajar cara pegang parang yang benar!”
Si Gempal rupanya cukup berani untuk maju. Ia mencoba menusuk Kali. Laki-laki itu berhasil mengelak. Parang Si Gempal menebas udara kosong, menyebabkannya terjerembap. Kali menggunakan kecerobohan itu untuk menginjak salah satu lengan Si Gempal, merebut dan mengacungkan parang itu ke arah Si Ceking. Melihat keadaan temannya, anak itu segera mendirikan dan menyalakan motornya, lalu menggeber gas secepat yang sanggup dilakukan tangan gemetarnya.
Kali menarik Si Gempal dari tanah dengan sekali entak, memaksanya naik ke angkot.
”Ayo ke kantor polisi,” perintah Kali kepada sopir yang masih duduk mematung di kursinya.
”Jangan, Kak, saya hanya disuruh.” Keberanian Si Gempal rupanya menguap terbawa angin malam.
”Dosamu hari ini, kau menghadang angkot yang salah,” damprat Kali sambil melirik si gadis di sampingnya.
Syahdan, semesta ternyata mengutus Si Gempal untuk mengangkat kelu dari lidah Kali, dan Dana mendapati dirinya telah terpikat pada lelaki yang telah menemaninya melewati malam yang bisa saja berakhir tragis itu.
Sejak itu, Kali rutin menunggui Dana di kampusnya. Dana sesekali menemaninya menagih uang hasil penjualan ikan teri kering di kampung-kampung sebelah. Pada pertemuan mereka yang kesebelas, cerita Kali menyelamatkan Dana dari begal dikisahkan ulang di ruang tamu keluarga Dana, yang ditanggapi Haji Iwan dengan, ”Oh, baguslah.”
***
Sebelum mengenal Dana, Kali merasa hidupnya baik-baik saja. Kali yang membantu bapaknya mengurus segala tetek bengek nelayan yang bekerja di kapal mereka (ia payah di laut): catatan utang dan total upah anggota per satu kali musim tarik, pengeluaran untuk solar, es balok, rokok, elpiji, dan air minum kemasan galon untuk anggota yang berminggu-minggu menginap di bagang, serta biaya-biaya perawatan perahu. Kali hafal jenis dan merek cat apa yang cocok untuk lunas kapal, geladak juga lambungnya. Kali bahkan mahir memperbaiki kerusakan mesin kapal berikut mengganti dan mengakali suku cadangnya. Ia pula yang mengenalkan bapaknya aplikasi yang mampu menunjukkan koordinat tempat ikan-ikan gemar berkumpul di waktu-waktu tertentu, tidak lagi sepenuhnya mengandalkan bintang yang sering kali malu-malu menghadapi mendung. Kali juga cekatan mengurus bisnis ikan teri kering bapaknya.
Meski sangat mungkin Kali telah berjasa menyelamatkan nyawa anaknya, di hadapan Haji Iwan hari itu, Kali merasa tak lebih berharga dari sekaleng cat antirayap.
***
Kali bangun dengan semangat. Ini hari pertama ia bekerja kantoran. Ia akan membuktikan bahwa ia adalah calon menantu yang pantas bagi Haji Iwan. Berbekal rasa bersalah guru yang pernah menamparnya dulu, ia diterima oleh satu perusahaan fainens di ibu kota kabupaten. Kata fainens, yang akhirnya ia ketahui sesungguhnya tertulis finance, membuatnya semakin riang menyambut hari.
Kali membayangkan dirinya duduk di belakang meja dengan hawa sejuk dari pendingin udara, punya bawahan yang bisa ia perintah, dan di akhir bulan ia bisa mentraktir seisi rumah Haji Iwan. Ia tahu perusahaan yang sedang membuka lowongan itu. Orang-orang yang keluar masuk dari sana selalu berpakaian rapi, bersih, dan berdasi. Beberapa teman sekolahnya malah ia tahu telah berhasil membeli sepeda motor dan mencicil rumah setelah bekerja di perusahaan itu. Ia bisa menebak wajah Haji Iwan saat tahu apa pekerjaannya. Kali segera merencanakan apa saja yang akan ia belikan untuk Dana.
Kali tertidur tatkala sedang menunggu giliran diwawancarai. Dalam tidurnya, ia bermimpi memboyong Dana ke rumah mereka berdua. Mobil mereka jauh lebih bagus dari milik ipar Dana. Sebelum sempat membukakan pintu dan memperlihatkan isi rumah itu kepada si gadis pujaan, tepukan keras mendarat di pundaknya. Namanya dipanggil.
Ia memasuki ruangan yang cat dindingnya mengingatkan Kali pada warna lunas perahu bapaknya. Laki-laki itu, Darpan, S.Pd. –begitu yang tertulis di atas meja berpelitur mengilap di depannya– sedang sibuk menelepon.
Kelar menelepon, Darpan memperkenalkan diri, lalu berbasa-basi bertanya kabar. Ia lalu menarik kertas dari rak besi kecil berwarna hitam di sudut kanan mejanya, menyerahkannya kepada Kali.
”Ini daftar nama-nama yang menunggak angsuran. Tugas Pak Kali mendatangi mereka satu-satu dan membuat mereka membayar tunggakan itu. Saya yakin –ia melirik badan laki-laki di hadapannya sambil tersenyum– Pak Kali mampu membuat mereka membayar. Pak Kali sudah bisa jalan hari ini. Punya motor kan?”
Kali mengangguk ragu sambil menerima kertas itu. Sebelum masuk ke ruangan Darpan, ia sungguh mengira akan duduk di ruangan bersekat-sekat tepat di depan ruangan laki-laki itu, bukan keliling kampung menjadi tukang tagih utang.
Tiga hari bekerja, Kali menerima pesan Dana. Perempuan itu akan dinikahkan sebulan lagi dengan seorang magister hukum anak sahabat Haji Iwan. (*)
Catatan:
1. Batulase: Buah pelir dalam bahasa Bugis.
—
DARMAWATI MAJID, Menulis cerpen dan esai. Saat ini menginap di Gorontalo.