Kegilaan dan kemanusiaan adalah kata kunci yang bisa ditemukan berulang dalam cerpen-cerpen Sony Karsono sebagai dua sisi koin.
APA yang membuat manusia menjadi manusia? Pertanyaan tersebut berlintasan dalam kepala seperti parade bintang jatuh tiap kali sampai pada momen-momen antik cerpen-cerpen Sony Karsono yang termaktub dalam buku Sentimentalisme Calon Mayat (Anagram, 2023).
Sering kali, tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen itu tampil sebagai makhluk asing yang sulit saya jangkau keberadaannya di bumi, di Indonesia, bahkan lebih khusus lagi, di Surabaya. Namun, di sisi lain, hadir pula anasir yang akrab, yang mungkin, bahwa saya dan siapa pun di luar sana pernah bertemu dengan satu atau beberapa tokoh itu di sebuah pertigaan, emperan toko, rest area –di sebuah kebetulan yang sudah tak dapat disusur lagi kausal pangkalnya.
Johan, seorang tokoh dalam cerpen ”Sentimentalisme Calon Mayat”, membuka pintu dunia kumpulan cerpen ini dengan pernyataan yang atraktif, ”Bapak adalah hantu asing, seperti bayang yang kutemukan dalam cermin saat menyikat gigi tiap pagi.” Narasi tersebut mencegah saya menempatkan cerpen ini dalam bingkai logika yang biasa, yang umum.
Di tengah cerpen, saya ter-pause: apakah yang membuat Johan menjadi manusia saat ia menceritakan dirinya dirawat di rumah sakit karena asma, lalu beberapa suster kebetulan melintas mendorong ranjang sesosok jenazah dan Johan jatuh cinta pada jenazah itu?
Di hampir akhir cerpen, kita tahu Johan adalah seorang laki-laki tua yang tengah duduk di ruang bioskop bersama istrinya, Sita. Di akhir cerpen, kita tahu sepulang dari bioskop Johan memutuskan banting kemudi menghadang sebuah bus, sementara Sita berteriak di sampingnya, ”Johaaan! Kamu gilaaa!”
Dari Johan saya bergerak ke cerpen-cerpen berikutnya sambil menimbang: orang gila pun adalah manusia.
Kegilaan dan Kemanusiaan
Kegilaan dan kemanusiaan adalah kata kunci yang bisa ditemukan berulang dalam cerpen-cerpen Sony sebagai dua sisi koin. Kegilaan dalam batas ”aneh” hingga yang tulen bersertifikat medis. Pun dalam batas rasa hingga yang konkret.
Pada cerpen ”Meteorit” kita temukan, ”Para buruh terus bekerja. Seperti robot, mereka patuh, efisien, tak kenal lelah. Nyatanya, mereka manusia….” Kemudian, pada cerpen ”Sukra” disebutkan, ”Kota Lama gempar. Sabtu cerah, seorang lelaki telanjang berkelana di sebuah mal. Ia tersenyum saja ketika orang-orang Kota Lama mengolok-oloknya sebagai gila.”
Pada cerpen ”Melankoli”, narator menutup, ”…Aku duduk bugil di muka cermin. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Istriku putus asa. Ia pergi ke belantara Kalimantan, memotret orang utan. Ia menemukan kedamaian di sana. Mungkin, ia kembali menjadi manusia.”
Hingga cerpen terakhir, ”Surabaya Johny: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Seperti Dipaparkan kepada Pieter Jansma)”, jungkir balik antara yang wajar dan tak wajar berkelindan sebagai riwayat hidup Surabaya Johny, seorang penyair yang wafat pasca menulis ”ramalan kematian”-nya sendiri.
Dua kata kunci itu (baca: kegilaan, kemanusiaan) muncul beriringan dalam satu wadah di mana kita akan juga menemukan robot, boneka, topeng, telanjang, usia, tubuh, darah, tai, hasrat, ingatan, alamiah, janggal, ”humor”, hingga puzzle ruang-waktu Indonesia masa Orde Baru ke masa jauh setelah reformasi.
Keliman narasi yang dibangun Sony membawa hal-hal gila dan aneh ke batas ambang penerimaan sebagai hal yang wajar, boleh, atau mungkin.
Saya jadi hampir sepakat bahwa tidak ada buruknya manusia menjadi gila atau dipadankan dengan robot. Tidak perlu tersinggung. Robot dan orang gila dalam dunia cerpen Sony adalah tokoh-tokoh yang memenuhi kemanusiaannya. Sementara di kanan-kiri kita dipenuhi robot korslet (?). (*)
—
- Judul: Sentimentalisme Calon Mayat
- Penulis: Sony Karsono
- Kategori: Fiksi (kumpulan cerpen)
- Penerbit: Anagram
- Tahun: 2023
- Halaman: viii + 170 halaman
- Ukuran: 14 x 20,4 cm
—
*) NANDA ALIFYA RAHMAH, Alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Menulis puisi dan esai