Februari lalu menjadi bulan penuh faedah dan berkah bagi saya: saya mengikuti sebuah acara tentang bencana dan perubahan iklim. Saya beroleh banyak pengetahuan.

MESKI ketika mendengar paparan para narasumber, saya merasa kecil hati karena tak banyak soal bahaya perubahan iklim yang saya ketahui, apalagi sadari, serta betapa sedikitnya hal yang telah saya lakukan. Ke mana saja saya selama hampir setengah abad hidup ini. Sungguh menyedihkan.

Malamnya, sebagai bagian dari acara itu, panitia menyuguhkan hiburan. Seorang perupa menghadiahi kami lagu ”Damai Bersamamu” yang pernah dipopulerkan Chrisye. Tentu saya pernah mendengarnya, tapi baru malam itu saya merasa terhanyut mendengarnya. Kasih Tuhan menyatu dengan indahnya alam. Dan saya seolah berdiri di tengahnya.

Tapi, seusai lagu itu, saya menyadari bahwa berbeda dengan paparan para narasumber siangnya, dalam lirik lagu ini alam baik-baik saja. Jangan-jangan dalam lirik lagu pop memang demikian adanya? Saya ingat masa kecil kakak saya sering menyetel lagu-lagu balada Franky & Jane. Romantisasi indahnya desa, perkebunan, suara burung-burung, padi yang menguning, menyatu dengan para perempuan yang memetik bunga, petani yang memanen padi, membentuk keindahan dan kedamaian semesta. Kalau dalam lukisan lagu-lagu Franky & Jane mungkin seperti ”mooi indie”. Tapi, kalau kami bisa mendengarkan lagu-lagu ini dengan indah, mungkin tidak salah juga, karena kami mendengarkannya di rumah kayu kami di pinggir Sungai Tabalong yang belum sering kekeringan dan tercemar racun merkuri. Jadi ingat bahwa lagu ”Damai Bersamamu” adalah ciptaan Johnny Sahilatua, adik Franky dan Jane. Rupanya mereka memang senang mengangkat tema alam.

Teman sekos saya semasa kuliah penyuka lagu-lagu Leo Kristi bersama Konser Rakyat Merdeka-nya. Darinya saya mengenal trubudor atau kerap juga digelari Bob Dylan-nya Indonesia ini. Apa yang membuat saya ikut suka, setelah saya pikir, mungkin juga karena romantisasinya terhadap alam, desa, sawah, dan sebagainya, yang kerap dipersonifikasi dengan kecantikan kekasih.

Di awal 1980-an, muncul seorang Rita Ruby Harland. Para pencinta alam pasti mengenal lagunya ”Kepada Alam dan Pencintanya” yang liriknya mengkritik perilaku keliru para pencinta alam. Tapi, saya sendiri suka lagunya ”Anak Tarzan”, romantis, tentu saja, tapi kontekstual, karena di masa kecil hutan merupakan bagian dari keseharian kami anak-anak. Hampir semua kami kurang lebih sebagai ”anak Tarzan”, yang hanya hitungan dua–tiga menit sudah bisa masuk hutan dan merdeka memetik buah-buahan di dalamnya.

Tapi, tidak semua lagu tentang alam bersifat romantis. Dalam ”Berita Cuaca” (1979), Gombloh sudah meratapi dan mempertanyakan alam yang rusak: Mengapa tanahku rawan kini/Bukit-bukit pun telanjang berdiri/Pohon dan rumput-rumput/Enggan bersemi kembali/Dan burung-burung pun malu bernyanyi…

Menyebut Gombloh, Leo Kristi, dan Franky, mungkin harus menyinggung Lemon Tree’s Anno ’69 yang dibentuk Gombloh di Surabaya karena ketiganya pernah bergabung di dalamnya. Mereka kemudian bercerai, berkarier sendiri-sendiri, tetapi pilihan musik kurang lebih sama dan mungkin juga perhatian terhadap alam, yang mewarnai lagu-lagu mereka, terlahir dari pergumulan di dalamnya. Tapi, itu Gombloh sebelum diseret produsernya terjun ke ranah pop komersial.

Tahun 1980-an ada seorang penyanyi perempuan yang tak boleh alpa disebutkan dalam hal perhatian pada alam ini. Dengan kostum ala aktivis pencinta alam dan gitar akustik di tangan, Ully Sigar Rusady, penyanyi itu menyenandungkan indahnya alam, hutan, gunung, dan kampanye untuk melestarikannya. Sampai sejauh itu, saya merasa lagu-lagu dengan tema sosial –termasuk alam di dalamnya– memang hanya cocok disuguhkan dengan gitar akustik, plus harmonika, dan kendang.

Tentu itu tidak benar. Karena grup pop kasidah Nasida Ria melalui dua lagunya ”Perkampungan Desa” dan ”Desaku yang Baru” juga bisa menampilkan tema alam dengan tak kalah romantisnya. Desa yang makmur, hijau, subur, udara yang segar, sungguh suasana yang nyaman untuk beribadah. Nikmat apa lagi yang kaudustakan!

Lagu-lagu dengan tema alam ini sedikit banyak mengoreksi esai terkenal Remy Sylado: ”Lagu Pop Indonesia dan Kebebalan Sang Mengapa” (1977) yang mengeluhkan lirik lagu pop Indonesia yang dijejali tema cinta yang cengeng. Jelas tidak seluruhnya demikian. Dalam album Nadia & Atmosfer (1976), melalui lagu ”Roni” dan ”Kemarau Panjang”, Lemon Tree’s Anno ’69 sudah mengangkat tema alam. Lagu mereka ”Bencana Alam 1976” bisa jadi merupakan yang pertama menyebut bencana alam sebelum Ebiet G. Ade menyenandungkan ”Berita kepada Kawan” yang legendaris (1979). Dengan lirih Ebiet bertanya: kawan coba dengar apa jawabnya/ketika kutanya mengapa/bapak ibunya telah lama mati/ditelan bencana tanah ini…/mungkin Tuhan mulai bosan…/atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Bencana akhirnya jadi semacam hukuman dan separonya lagi takdir.

Barangkali Iwan Fals-lah yang kali pertama mengungkapkan kerusakan alam, hutan, dan menghubungkannya dengan terjadinya bencana akibat kesalahan pengelolaan dan kerakusan para elite … raum buldoser gemuruh pohon tumbang/Bersatu dengan jerit isi rimba raya/tawa kelakar badut-badut serakah… Bencana erosi selalu datang menghantui/tanah kering kerontang banjir datang… Alam tidak lagi dipandang secara romantis, tetapi diratapi dan ditatap dengan kritis, dan Tuhan bukan lagi terdakwa utama ketika terjadi bencana.

Sejak tahun 1990-an makin banyak penyanyi dan grup yang memberikan perhatian pada alam. Hampir setiap penyanyi atau grup pernah mencatatkan dirinya, walaupun sebuah lagu, dalam daftar penyanyi yang memberi perhatian pada alam. ”Mahameru” (Dewa 19, 1994), ”Dia Adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia yang Ada di Seluruh Dunia” (Naif, 2002), ”Cerita tentang Gunung dan Laut” (Payung Teduh, 2010), ”Hijaukan Bumi” (Kotak, 2012), dan banyak lagi lainnya. Entah temanya romantis, meratap, kampanye pelestarian alam, dan juga ada tudingan. Dalam lagu ”Lembah Baliem” (2001), Slank menegaskan: Aku gak ngerti ada banyak tambang/Yang aku tahu banyak hutan yang hilang.

Menyebut Slank dalam konteks ini, itu menunjuk bahwa tema tentang alam tak lagi milik lagu-lagu balada ala jreng-jreng gitar akustik. Anak-anak muda yang mengusung rock dengan beragam jenisnya kini juga banyak mencurahkan perhatian. Salah satunya tentulah Navicula. Lagunya ”Orang Utan” memperluas tema dari menyelamatkan alam berarti menyelamatkan spesies penghuninya, orang utan dan lainnya. Juga grup musik rap seperti dengan atraktif ditunjukkan Saykoji ketika melatunkan ”Plastik” (2019): Dan menjaga alam juga berarti mengubah gaya hidup konsumeris kita, terutama di antaranya mengurangi dan membatasi pemakaian plastik.

Catatan ini berada di ujungnya ketika pintu rumah saya diketuk. Seseorang membagikan jadwal kegiatan Ramadan di kampung: takjilan, bukber, tadarus, Tarawih, hingga Idul Fitri. Semua tentu sudah mafhum, puasa secara bahasa artinya ”menahan”. Tapi, apakah kita bisa menahan diri dari mengeksploitasi alam, menggunakan plastik, memproduksi gas emisi, dan mengonsumsi secara berlebihan? Ini adalah nafsu besar lebih dari sekadar makan dan minum. (*)

HAIRUS SALIM HS, Esais, bekerja di Yayasan LKiS dan Gading Publishing Jogjakarta

By admin