JawaPos.com – Praktisi industri tekstil, Rizal Tanzil Rakhman, mendukung langkah kepolisian menggerebek sejumlah gudang pakaian bekas impor di berbagai daerah. Langkah ini diharapkan secara konsisten mengingat produk tersebut termasuk dilarang beredar.
“(Penindakan) asal jangan cuma ramai di awal saja, lalu sepi lagi. Konsistensi dalam penegakan hukum sangat diperlukan,” ujar Rizal saat dihubungi di Jakarta, Kamis (23/3).
Rizal lalu mengenang pengalamannya pada 2016. Kala itu, dirinya selaku pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan inspeksi mendadak (sidak) dan menyita puluhan bal pakaian bekas impor di Gedebage, Bandung.
“Sempat kami menyita beberapa puluh bal pakaian bekas, tapi kemudian lenyap lagi (tidak ada penyitaan kembali, red). Artinya, tidak ada penindakan lagi, akhirnya pascapandemi marak lagi,” ungkapnya.
“Ketika (pengawasan) ini ketat, regulasi baru diberlakukan dan berlaku untuk (pedagang di) e-commerce, tapi kemudian penegakan di lapangan akan kendor, nanti akan muncul lagi,” imbuhnya.
Mantan Sekretaris Jenderal API ini mengungkapkan, beredar luasnya pakaian bekas impor berdampak terhadap para pelaku usaha di dalam negeri, terutama industri kecil dan menengah (IKM). Dengan demikian, persaingan usaha menjadi tidak sehat.
“Enggak apple to apple; yang satu barang bekas, yang satu barang baru. Yang barang bekas ini aslinya barang sampah, benar-benar enggak bernilai, (bisa) dijual berapa pun dan harus bersaing dengan pakaian baru. Jelas enggak fair,” tuturnya.
“Mau diturunkan berapa pun harga pakaian barunya, ya, jelas enggak kekejar dan harga pakaian thrifting jelas (menguntungkan). Tapi, kita enggak pernah tahu HPP-nya berapa, kadang untung besar banget mereka dan kadang asal kejual,” sambungnya.
Padahal, ungkap Rizal, industri tekstil nasional dapat memproduksi pakaian berkualitas dan bermerek. “Produk dalam negeri kita kompetitif, bersaing.”
Selain itu, dirinya mendorong penindakan pakaian bekas impor dilakukan lintas lembaga dan secara komprehensif. Pangkalnya, ada beberapa pasar tradisional yang menjadi pusat bisnis pakaian bekas impor.
“Kuncinya ada di penegak hukum, kementerian, pemerintah daerah, Satpol PP. Ini perlu kolaborasi, perlu sinergi,” jelasnya.
Rizal juga mendorong pemerintah mengedukasi masyarakat tentang risiko menggunakan pakaian bekas impor. Sekalipun telah diolah sedemikian rupa oleh pedagang, menurutnya, pakaian bekas impor tidak layak digunakan.
“Pakaian tersebut banyak yang sudah sangat tidak layak. Ntah pun kemudian oleh pedagang dicuci, disetrika, dan (akhirnya) terlihat baru, tapi basic-nya tidak layak. Ketika saya sidak dulu, waktu buka bal dan belum diapa-apain, luar biasa kondisinya: kuning, ada bercak darah, kotor, busuk, sobek,” ungkapnya.