DALAM beberapa pekan terakhir, jagat media sosial dan dunia maya diramaikan pemberitaan keluarga pejabat yang bergaya hidup mewah. Mereka melakukan flexing (pamer) dengan memperlihatkan kepemilikan materi yang serbawah dan aktivitas pleasure di tempat-tempat ternama di dunia.

Sejatinya flexing tidak hanya dilakukan keluarga para pejabat. Flexing adalah fenomena jamak yang dilakukan berbagai kalangan jet set: para selebriti dari berbagai profesi.

Banyak figur publik mulai artis, pengusaha, pengacara, bahkan pendakwah agama yang memamerkan harta yang serbawah.

Sorotan tajam kepada keluarga pejabat publik karena diduga mereka memperoleh kekayaan dengan cara melanggar aturan. Dari sudut moral, etik, dan etika, flexing adalah perbuatan tercela.

Dampak Materialisme

Flexing adalah perilaku dan gaya hidup yang dipengaruhi banyak faktor. Secara psikologis, flexing merupakan ekspresi dari perasaan insecure: merasa kurang dihargai orang lain. Flexing dilakukan untuk mendapatkan pengakuan, penerimaan, dan penghargaan.

Faktor psikologis yang lain adalah narsisisme: mengagumi diri sendiri secara berlebihan, merasa superior, dan sangat penting. Para ahli psikologi menyebut insecurity dan narsisisme sebagai masalah mental dan kelainan kejiwaan (psychological disorder).

Fenomena flexing juga disebabkan perkembangan teknologi informasi, penggunaan internet, dan media sosial yang sangat masif dan eksesif. Dalam buku The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement, Jean Twenge dan W. Keith Campbell (2009) menyebut narsisisme sebagai ”inflated view of the self” telah menjadi wabah sosial dan moral yang merusak seperti depresi, kesepian, dan bangkrut karena timbunan utang. Sayangnya, meski telah menjadi wabah penyakit, narsisisme di media tidak terbendung karena banyak pelakunya menjadi sosok populer yang mendapatkan keuntungan materi, politik, dan sosial.

Faktor lain yang berpengaruh dominan terhadap flexing adalah materialisme dan hedonisme. Dalam hidup yang serbamaterialistis, manusia dihargai dan mendapatkan tempat di masyarakat karena kepemilikan materi. Sebagaimana ditulis Michael Sandel (2012) dalam What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets, dengan kekuatan uang seseorang dapat ”membeli” segalanya. Uang dan harta seakan segala-galanya: jabatan, penghormatan, dan kesenangan. Materialisme dan hedonisme menjerumuskan manusia dalam jurang kehidupan yang konsumtif, boros, dan berlebihan. Manusia mengalami masalah ”having mood”: hasrat kuat memiliki sesuatu walaupun tidak perlu, menikmati, dan memanfaatkan.

Nilai Puasa

Hidup mewah adalah kecenderungan alamiah manusia. Di dalam Alquran surah Ali Imran [3]:14 dijelaskan bahwa pada umumnya manusia itu mencintai dan membanggakan keluarga dan harta benda seperti emas, perak, kendaraan, tanah, dan kekayaan material sebagai hiasan kehidupan dunia. Meskipun fana, semu, dan menipu (QS Al Hadid [57]:20) manusia berusaha mendapatkan kebahagiaan material dengan segala cara, dengan cara yang batil sekalipun. Alquran melarang manusia hidup materialistis dan kapitalis (At Takasur [102]:1–8) yang karenanya mereka melupakan kehidupan akhirat dan hari pembalasan.

Puasa adalah ibadah yang mendidik manusia agar mampu menahan diri. Makna hakiki puasa adalah sabar, mengendalikan diri dari segala hal yang dilarang Allah. Makna itu diraih manusia melalui latihan spiritual selama berpuasa dengan tidak makan, minum, bersetubuh, dan perbuatan lain yang membatalkan puasa.

Sabar dan pengendalian diri penting. Banyak kerusakan di alam semesta yang terjadi karena manusia melampaui batas, menerabas aturan, mencampakkan norma, tata krama, dan susila.

Pada umumnya, sabar dikaitkan dengan kesulitan, musibah, dan penderitaan. Sabar dalam situasi demikian tidak mudah. Akan tetapi, sabar pada saat manusia sedang berjaya, menduduki jabatan, berkuasa, dan bergelimang harta lebih tidak mudah. ”… Sungguh manusia itu benar-benar melampaui batas. Apabila merasa dirinya cukup.” (Al Alaq [96]: 6-7). Tidak sedikit manusia yang tidak sabar ketika sedang berkuasa (in power). Demi menunjukkan kekuasaan (flexing of power) mereka menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) demi melanggengkan kekuasaan dan mengeruk kekayaan.

Puasa mendidik manusia agar bersabar dan bersyukur dalam setiap keadaan. Seseorang yang berpuasa merasa cukup dan menikmati apa pun yang dimiliki (being mood). Mereka tidak akan menerabas aturan betapapun hal itu mampu dilakukan. Puasa itu adalah perisai (junnah) yang membentengi manusia dari sifat suka pamer (riya/flexing) karena mereka hanya mengharapkan penilaian dari Allah. Inilah makna dari hadis qudsi ”… puasa itu untuk Aku (Allah) dan Aku yang akan menilai.”

Puasa mendidik manusia untuk senantiasa berbuat baik, berpihak, dan berpijak di jalan yang benar tanpa flexing: sunyi, tanpa publikasi. (*)

*) ABDUL MU’TI, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah

 

By admin