JawaPos.com – Polemik temuan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun bergulir di parlemen. DPR mendorong pembentukan panitia khusus (pansus) untuk mengungkap transaksi yang dinilai janggal tersebut.
Kemarin (21/3) Komisi III DPR RI yang antara lain membidangi masalah hukum menggelar rapat dengan Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana. Ivan yang juga sekretaris Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Komite TPPU dicecar berbagai pertanyaan terkait transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang pernah diungkap Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU Mahfud MD.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa mengatakan, transaksi janggal tersebut harus diungkap dan diselesaikan.
Karena itu, pihaknya mengusulkan pembentukan pansus terkait transaksi Rp 349 triliun yang sebagian diduga terjadi di Kemenkeu tersebut. ”Perlu dibentuk pansus soal transaksi janggal itu,” tegas dia.
Menurut Desmond, pembentukan pansus penting dilakukan karena berkaitan langsung dengan pajak yang merupakan sumber pendapatan utama negara. DPR, kata dia, tidak boleh maju mundur dalam membentuk pansus. Sebab, dengan pansus, masalah tersebut bisa diungkap secara terang benderang dan dituntaskan. ”Pansus sebagai bentuk keseriusan dalam masalah ini,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Sementara itu, anggota komisi III dari Fraksi Demokrat Benny K. Harman mempertanyakan kewenangan Menko Polhukam dan PPATK dalam pengungkapan transaksi janggal tersebut ke publik. Bahkan, dia menuding ada motif politik di balik itu. ”Apakah boleh mengumumkannya ke publik? Tolong dijawab,” kata Benny.
Menurut Ivan, apa yang dilakukan Mahfud MD dengan menyampaikan data transaksi janggal ke publik diperbolehkan. ”Menurut saya boleh,” jawab Ivan.
Jawaban Ivan itu tidak membuat Benny puas. Bahkan, dia mempertanyakan dasar hukum yang membolehkan Mahfud MD mengungkapkan transaksi mencurigakan itu. Benny meminta Ivan menyebutkan pasal yang memberikan kewenangan penyampaian transaksi janggal ke publik.
Menanggapi itu, Ivan menyatakan, kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 6/2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Persisnya pada pasal 92 ayat 2.
Benny kemudian membacakan Pasal 92 Ayat 2 Perpres 6/2012. Menurut politikus asal NTT itu, dalam perpres tersebut tidak diatur atau tidak disebutkan kewenangan Menko Polhukam dan PPATK untuk menyampaikan ke publik. Karena itu, Benny menuding ada motif politik dalam pengungkapan transaksi dengan nominal jumbo tersebut.
Dalam rapat berikutnya, Benny meminta Menko Polhukam Mahfud MD dihadirkan. Sebagai pihak yang pertama mengungkap data transaksi mencurigakan itu ke publik, Mahfud dinilai harus memberikan penjelasan. ”Saya meminta Saudara Ketua Komite TPPU Mahfud MD dihadirkan di tempat ini dalam waktu sesingkat-singkatnya,” tuturnya.
Anggota komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani menegaskan, Perpres 6/2012 yang kemudian diubah dengan Perpres 117/2016 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak menyebutkan kewenangan mengumumkan transaksi keuangan ke publik. Karena itu, tidak boleh Komite TPPU menyampaikan data transaksi janggal ke publik.
Arsul mengatakan, UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang meletakkan prinsip kerahasiaan. ”Apa yang harus dirahasiakan, bukan cuma dokumen, melainkan juga keterangan,” tegas wakil ketua umum PPP itu.
Menurut dia, PPATK hanya boleh menyampaikan laporan transaksi keuangan itu kepada presiden dan DPR RI. Dia meminta ada perbaikan pada masa mendatang sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di tengah publik.
Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni mengatakan, pihaknya berencana menggelar rapat lanjutan pada 29 Maret. Rencananya, Mahfud MD dihadirkan. ”Pak Mahfud (dalam kapasitas) sebagai ketua Komite TPPU,” ujarnya.