POLEMIK dan diskursus mengenai pemberhentian seorang guru honorer di Jawa Barat terus menggelinding. Berbagai versi dan latar belakang disampaikan menjadi informasi publik. Namun, satu yang sudah pasti adalah mengenai bagaimana peristiwa itu membesar. Ialah komentar Muhammad Sabil, sang guru honorer tersebut, pada sebuah unggahan di platform media sosial Instagram.
Suatu hal yang biasa sebenarnya ketika seorang pengguna menuliskan komentar pada sebuah unggahan. Atau sekadar berinteraksi secara mikro dengan like, save, share, dan semacamnya. Bahkan, komentar dan mikrointeraksi adalah faktor yang sangat penting bagi pengunggah untuk menaikkan engagement dari unggahannya. Algoritma media sosial membaca interaksi sebagai sebuah parameter dalam mengurasi konten.
Yang spesifik untuk peristiwa ini adalah karena pengunggah konten adalah seorang figur publik, seorang gubernur. Dan pengguna yang berkomentar, secara administrasi kewarganegaraan, adalah warga di provinsinya. Menariknya, gaya dan diksi bahasa dalam komentarnya diteropong oleh publik sebagai ”kurang pantas”. Bisa jadi karena dia diketahui sebagai seorang guru. Di titik inilah menariknya. Platform media sosial tidak mengenal hierarki, meritrokasi, ataupun norma kesantunan sosial yang sering kali ”bersifat dan berlaku lokal”. Diskursus dan perdebatan mengenai etika bermedia sosial terus berlangsung. Bahkan mungkin tidak akan pernah berakhir.
Ketika sebuah parameter, dalam hal ini kesantunan, yang lebih berlaku lokal dan pada komunikasi konvensional dipakai di media sosial yang bersifat lintas batas, cair, egaliter, dan bebas, adalah sebuah keniscayaan jika perdebatan menyeruak. Terlebih lagi pada bahasa yang mengenal hierarki, seperti bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya. Kata ”maneh” (berarti ”kamu” dalam bahasa Sunda) yang digunakan menjadi parameter untuk mengukur kesantunan. Suatu hal yang tidak mungkin ditemukan pada kata ”you” dalam bahasa Inggris misalnya.
Bersikap santun dalam berkomunikasi adalah kewajiban. Kesantunan dalam komunikasi akan menjadikan komunikasi tersebut berlangsung menyenangkan dan menenangkan. Tidak sebaliknya, menegangkan. Sehingga pesan yang disampaikan dan diterima bisa ditangkap dengan utuh. Bukankah demikian tujuan komunikasi? Menyampaikan dan menangkap pesan. Meskipun tidak bisa disangkal, kepentingan sering kali membuat komunikasi dimanipulasi.
Walakin, menggunakan media sosial dengan etika dan tanggung jawab adalah keniscayaan. Mengukurnya dengan parameter yang parsial yang mungkin kurang tepat. Atau mungkin kita memang tidak bisa lepas dari hukum Goodhart?
Secara umum, peristiwa tersebut adalah sebuah peristiwa di mana fokus dari sebuah diskursus tidak lagi pada isi dan muatannya. Selain penyampaian, pihak-pihak yang berkomunikasi juga menjadi ”masalah”. Saya membayangkan kalau saja Ridwan Kamil dan Sabil tidak saling tahu siapa yang diajak bicara (baca: berkomunikasi), mungkin percakapan yang berlangsung di media sosial itu tidak akan memantik reaksi proses pemberhentian atau institusinya (sekolah/yayasan yang menaunginya).
Tetapi, masalahnya tidak sesederhana itu. Kekuatan media sosial sangat mengagumkan. Apalagi dalam konteks politik, pencitraan, dan pemilihan. Skandal Cambridge Analytica adalah contohnya. Kalau Sinan Aral menyebut fenomena ini sebagai Mesin Hype, PW. Singer bahkan menyiratkan media sosial sebagai sebuah senjata.
Bagaimana informasi ditampilkan dalam beranda gawai masing-masing orang, berada dalam koridor deretan algoritma tertentu. Viralitas menjadi kata kunci dan populisme makin menguat. Pun demikian, media sosial telah sangat banyak membantu akselerasi dan disrupsi komunikasi, turut membentuk lanskap masyarakat digital.
Kembali pada peristiwa Ridwan Kamil dan Sabil, rentetan kejadian yang mengikuti komentar Instagram tersebut menarik untuk ditelaah lebih jauh. Khususnya dalam konteks birokrasi, dalam duduk perkara RK (inisial Ridwan Kamil) sebagai gubernur dan Sabil sebagai warganya. RK memang sudah memberikan klarifikasi dalam cuitannya di Twitter. Namun, sekali lagi, masalahnya tidak sesederhana itu.
Kronologi pengambilan keputusan pemberhentian tidak bisa dilepaskan begitu saja konteksnya dari apa yang terjadi di Instagram. Ia seolah menjadi wajah dari respons yang represif, dengan relasi kuasa yang kental. Bukankah hampir bisa dipastikan kalau pemberhentian tersebut tidak akan terjadi andaikata yang dikomentari oleh Sabil bukanlah Ridwan Kamil?
Di pengujung tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa beberapa kasus yang terjadi sebagai reaksi atas apa yang terjadi di media sosial menunjukkan satu kesamaan. Ketidaksiapan masyarakat, pemerintah, dan kita semua dalam menghadapi viralitas, saat menjadi objek maupun subjek. (*)
—
*) SUKO WIDODO, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unair dan Wakil Ketua Komite Komunikasi Digital Jawa Timur