JawaPos.com – Transaksi mencurigakan yang menjadi sorotan beberapa waktu terakhir tidak lagi berjumlah Rp 300 triliun. Data terbaru, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi pergerakan transaksi tersebut sudah menyentuh angka Rp 349 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menegaskan, transaksi mencurigakan dengan nilai fantastis tersebut adalah dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, tidak seluruhnya diduga melibatkan pegawai Kementerian Keuangan.
”Berkali-kali saya katakan, ini bukan laporan korupsi. Melainkan laporan tentang dugaan tindak pidana pencucian uang yang menyangkut pergerakan transaksi mencurigakan,” kata Mahfud setelah rapat bersama Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Jakarta kemarin (20/3). Karena itu, dia meminta tidak ada yang berasumsi Kemenkeu melakukan korupsi ratusan triliun.
Dia mencontohkan beberapa modus TPPU yang terjadi. Pertama, kepemilikan saham pada perusahaan atas nama keluarga. Kedua, kepemilikan aset berupa barang bergerak maupun tidak bergerak atas nama pihak lain. Ketiga, membentuk perusahaan cangkang.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengungkapkan, TPPU dilakukan untuk mengelola hasil kejahatan. ”Sebagai upaya agar keuntungan operasional perusahaan itu menjadi sah, kemudian menggunakan rekening atas nama orang lain untuk menyimpan hasil kejahatan,” bebernya. Hasil kejahatan tersebut bisa disimpan di safe deposit box atau tempat lainnya. Karena itu, TPPU harus dilacak sampai tuntas.
Dari temuan PPATK yang disampaikan kepada Kemenkeu dan dibahas dalam rapat kemarin, Mahfud mengungkapkan beberapa kesepakatan. Di antaranya, Kemenkeu bakal melanjutkan dan menyelesaikan seluruh laporan hasil analisis (LHA) yang diduga sebagai TPPU. ”Baik yang menyangkut pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan maupun pihak lain,” katanya. ”Sekali lagi tidak selalu berkaitan dengan pegawai Kementerian Keuangan,” tambah dia.
Kesepakatan berikutnya, apabila dari laporan tersebut ditemukan alat bukti terjadinya tindak pidana, proses hukum harus berjalan. Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal wajib bekerja. ”Disidik oleh Kementerian Keuangan sebagai PPNS (penyidik pegawai negeri sipil), penyidik di bidang pajak dan kepabeanan. Atau, mungkin saja nanti diserahkan ke aparat penegak hukum lain, penyidik lainnya, yaitu polisi, jaksa, atau KPK,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan secara terperinci dugaan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kemenkeu. Menurut dia, kepala PPATK melayangkan surat pada 7 Maret 2023 kepada Kemenkeu. Surat itu berisi seluruh surat kepada Kemenkeu, terutama Inspektorat Jenderal (Itjen), periode 2009–2023. Totalnya 196 surat. ”Surat ini tanpa ada nilai transaksinya. Jadi, hanya berisi nomor surat, tanggal surat, nama-nama orang yang ditulis oleh PPATK, dan kemudian tindak lanjut dari Kemenkeu,” jelas Ani, sapaan karib Sri Mulyani.
Terhadap 196 surat itu, Itjen Kemenkeu sudah melakukan seluruh langkah tindak lanjut dengan landasan hukum PP Nomor 94 Tahun 2010 mengenai ASN. ”Termasuk mulai dulu Gayus (Tambunan) sampai sekarang. Ada yang sudah kena sanksi, ada yang kena penjara, ada yang dalam hal ini diturunkan pangkat,” imbuhnya.
Tidak lama kemudian, muncul pernyataan adanya surat PPATK terkait angka Rp 300 triliun. Padahal, saat berita itu muncul, Ani mengaku belum menerima surat PPATK berisi nominal jumbo tersebut. Pihaknya baru menerima surat kedua pada 13 Maret. Surat setebal 46 halaman itu berisi rekapitulasi hasil analisis dan pemeriksaan serta informasi transaksi keuangan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Kemenkeu untuk periode 2009–2023. ”Lampirannya 300 surat dengan nilai transaksi Rp 349 triliun,” ungkap dia.
Dari 300 surat itu, terdapat 65 surat transaksi keuangan perusahaan atau badan atau perorangan yang tidak ada pegawai Kemenkeu di dalamnya. Meski begitu, PPATK tetap meneruskan laporan kepada Kemenkeu karena terkait tugas dan fungsi Kemenkeu di bidang ekspor dan impor. ”Untuk 65 surat itu nilainya Rp 253 triliun. Artinya, PPATK menengarai ada transaksi di dalam perekonomian entah itu perdagangan, pergantian properti yang mencurigakan, kemudian dikirim ke kami untuk mem-follow up sesuai tugas dan fungsi kami,” kata bendahara negara tersebut.
Kemudian, 99 surat lainnya merupakan temuan PPATK yang dikirimkan kepada aparat penegak hukum (APH) dengan nilai transaksi Rp 74 triliun. Lalu, terdapat 135 surat terkait transaksi mencurigakan dikirimkan ke Kemenkeu yang di dalamnya juga berkaitan dengan pegawai Kemenkeu. ”Nilainya jauh lebih kecil, karena yang tadi Rp 253 triliun plus Rp 74 triliun itu sudah lebih dari Rp 300 triliun,” jelas mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Ani memastikan, Kemenkeu telah dan terus melakukan penindakan sesuai aturan yang berlaku. Sebagai contoh, mantan pegawai-pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang bermasalah sebelumnya. ”Dulu disebutkan Gayus itu jumlahnya Rp 1,9 triliun sudah dipenjara. Kemudian, ada lagi, Saudara Angin Prayitno. Itu disebutkan transaksinya Rp 14,8 triliun, juga sudah dipenjara,” tegasnya.
Sementara itu, temuan PPATK yang menyangkut badan usaha atau perorangan non pegawai Kemenkeu juga terus ditindaklanjuti DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sejauh ini DJP berhasil menindaklanjuti 17 kasus TPPU dengan menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 7,88 triliun. Sedangkan DJBC menindaklanjuti delapan kasus yang menambah pemasukan negara sebesar Rp 1,1 triliun. ”Ini untuk menjelaskan kepada publik, Kemenkeu tidak akan berhenti, bahkan kami secara proaktif minta kepada PPATK untuk menjalankan tugas menjaga keuangan negara,” jelasnya.