JawaPos.com – Morgan Gaines (Henry Golding) adalah seorang pembunuh bayaran ulung yang berkeliling dunia untuk membunuh orang-orang tertentu sesuai dengan pesanan bosnya. Sembari menjalani kehidupannya sebagai seorang assassin, Morgan juga berusaha mengimbangi kehidupan pribadinya bersama sang kekasih, Sophie (Daniela Melchior).
Tentu saja, Sophie sama sekali tidak tahu status Morgan sebagai seorang pembunuh. Kepada Sophie, Morgan mengaku bahwa ia adalah seorang jurnalis foto yang sering melanglang buana dan selalu pulang ke rumah dalam keadaan tubuh luka-luka.
Kerap menerima protes dari Sophie yang tidak tahan melihat tubuh kekasihnya penuh dengan bekas luka dan terus bertambah, Sophie pun meminta Morgan untuk pensiun dari tugasnya tersebut. Morgan, terdorong oleh keinginan Sophie, akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan pensiun kepada bosnya, Caldwell (Sam Neill).
Bisa ditebak, negosiasi berjalan alot. Caldwell, yang merasa Morgan adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya untuk melakukan pekerjaan kotornya, bersikukuh agar anak buahnya itu tetap bertahan di profesinya itu. Di sisi lain, Morgan sudah kadung membulatkan tekad untuk meninggalkan dunia pembunuhan berbayar.
Sebagai jalan tengah, Caldwell lalu memberikan satu tugas terakhir untuk Morgan: ia harus membunuh tujuh orang di dalam daftar yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Tanpa sepengetahuan Morgan, tujuh orang tersebut juga merupakan pembunuh bayaran tangguh, yang masing-masing juga diberi tugas untuk membunuh satu sama lain, termasuk Morgan.
Kenyataan ini pun membuat Morgan bergerak menguak dalang di balik permainan mematikan yang bisa mengancam nyawanya tersebut.
Disutradarai Camille Delamarre, Assassin Club sebetulnya bisa menjadi film action berformula generik yang menghibur. Jalan ceritanya tidak rumit, porsi pertarungan penuh darah di dalamnya pun juga cukup dominan. Tidak perlu mengerahkan segenap kemampuan otak untuk bisa mencerna cerita film ini.
Sayangnya, hal itu urung terjadi karena beberapa hal yang sepertinya diseksekusi dengan sangat terburu-buru. Faktor pertama adalah penokohan karakter yang begitu lemah. Dari sudut pandang pribadi, tidak butuh waktu lama untuk merasa bosan kepada para tokoh di dalamnya karena tidak ada penjiwaan watak yang kuat.
Morgan selaku karakter utama yang diperankan Henry Golding yang mestinya penuh dengan masalah yang berkecamuk di dalam kepalanya hanya terlihat biasa-biasa saja. Luapan emosi dan rasa frustrasi yang ditunjukkan Golding dalam beberapa adegan penting pun juga bisa dibilang tidak menjiwai sepenuhnya.
Dari sisi jalan cerita, walaupun plot Assassin Club bisa dibilang ringan dan mudah dicerna, namun eksekusinya dibuat dengan bertele-tele dan berputar-putar. Akibatnya, poin sederhana yang harusnya bisa disampaikan gamblang jadi terasa mentah karena penonton sudah keburu merasa jenuh.
Faktor berikutnya adalah banyaknya adegan yang secara logika sulit untuk dinalar, bahkan untuk standar film action Hollywood yang biasanya mengabaikan akal sehat.
Misalnya saja adegan Morgan bersama salah satu targetnya di pekarangan rumah. Scene yang semestinya menegangkan dan dramatis itu kemudian rusak begitu saja ketika anak sang target tiba-tiba muncul dan seakan-akan tak terjadi apa-apa. Padahal dalam adegan tersebut, jempol target Morgan sudah putus dan penuh darah.
Tak cuma itu, Morgan dan targetnya bahkan juga melakukan obrolan soal pembunuhan sadis di depan anaknya yang sedang asyik mewarnai. Dua adegan tersebut jelas menimbulkan kesan bahwa sutradara Camille Delamarre terlalu malas menambahkan adegan sesederhana menyuruh sang anak pergi ataupun membuat sang anak bertanya-tanya apa yang terjadi antara Morgan dan ayahnya.
Secara keseluruhan, secara jujur harus dikatakan bahwa Assassin Club bukanlah karya yang wajib masuk dalam list nonton. Sangat disayangkan bahwa penokohan yang tidak kuat, cerita yang ringan namun bertele-tele, dan beberapa elemen lain yang sudah disebutkan di atas pada akhirnya membuat Assassin Club hanya menjadi sebuah film aksi yang ‘setengah matang’ dan kurang menantang.