Diversi bagi Pelaku Anak Harus Disetujui Korban dan Keluarga
JawaPos.com – Tidak ada peluang restorative justice dalam perkara penganiayaan terhadap David Ozora. Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum yang saat ini sedang berjalan. Demikian juga AG yang berstatus pelaku anak. Opsi diversi untuk AG hanya bisa dilakukan bila ada restu dari David dan keluarga.
Hal itu ditegaskan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana.
Para tersangka dalam kasus tersebut tidak layak mendapat restorative justice atau penyelesaian perkara melalui proses dialog dan mediasi. ”Dikarenakan ancaman hukuman pidana penjara (para tersangka, Red)-nya melebihi batas yang telah diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020,” jelas dia kemarin (19/3).
Tidak hanya itu, perbuatan yang dilakukan Dandy kepada David dinilai sangat keji. Tindakan anak mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo itu, lanjut Ketut, berdampak luas di masyarakat. Penganiayaan terhadap David juga disorot banyak pihak. ”Sehingga perlu adanya tindakan dan hukuman tegas bagi para pelaku,” katanya.
Berkaitan dengan AG, Ketut menjelaskan, Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak mewajibkan aparat penegak hukum melakukan upaya-upaya damai di setiap jenjang penanganan perkara. Tujuannya menjaga masa depan anak yang berkonflik dengan hukum. Namun, hal itu tidak dilakukan melalui mekanisme restorative justice. Yang ada hanya opsi diversi. ”Meski demikian, diversi hanya bisa dilaksanakan apabila ada perdamaian,” jelasnya.
Tanpa pemberian maaf dari korban dan keluarga korban, opsi tersebut tidak bisa dijalankan penegak hukum. Dengan begitu, pelaku anak tetap harus menjalani proses hukum. ”Bila tidak ada kata maaf, perkara pelaku anak harus dilanjutkan sampai pengadilan,” ucap Ketut.
Senada, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak menyatakan bahwa penganiayaan terhadap David masuk kategori berat. Karena itu, Dandy dan Shane tidak berhak menempuh restorative justice. ”Karena memang tidak memenuhi kriteria sesuai dengan pedoman yang sudah dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung,” terangnya.
Sementara itu, opsi diversi untuk AG merupakan suatu hal yang harus disampaikan aparat penegak hukum. Aturannya jelas dalam sistem peradilan pidana anak serta UU Perlindungan Anak.
Setelah mencuat kabar Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menawarkan opsi restorative justice dalam kasus penganiayaan David, Komjak langsung mengonfirmasinya. Baik kepada Kejagung maupun Kejati DKI. Hasilnya, pihaknya mendapat keterangan yang klir. Bahwa tidak akan ada restorative justice untuk Dandy dan Shane. Yang ada hanya langkah-langkah untuk memastikan UU Perlindungan Anak tidak dikesampingkan dalam penanganan kasus tersebut.
Terpisah, pengurus GP Ansor Pusat sekaligus kerabat keluarga David, Rustam Hattala, menceritakan, isu restorative justice itu mencuat setelah Kepala Kejati (Kajati) DKI Jakarta Reda Manthovani mengunjungi keluarga David. ”Pada saat mengunjungi keluarga, Kajati hanya menyampaikan terkait restitusi yang bisa segera diajukan korban,” ungkapnya.
”Tidak ada Kajati menyampaikan terkait restorative justice kepada pihak keluarga David,” tegasnya.
Rustam mengatakan, sikap keluarga David masih sama. Bahwa kasus penganiayaan yang dialami David adalah penganiayaan berat. Ditambah dengan kondisi David yang sudah 25 hari lebih dirawat di ruang ICU. Atas pertimbangan dan kondisi tersebut, keluarga David sudah menutup peluang adanya restorative justice.