JawaPos.com – Peneliti Senior di Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan, kekhawatiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal polarisasi politik di masyarakat kini terbukti.
Hal itu tercermin dari hasil Survei Nasional yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) bahwa polarisasi politik di Indonesia fakta terjadi baik di dimensi dalam jaringan (daring) atau dunia maya maupun offline dunia nyata.
Presiden Jokowi sebelumnya beberapa kali menyampaikan terkait kekhawatirannya mengenai polarisasi pada pemilu 2024 mendatang. Dengan fakta yang tercermin dari hasil survei, Surokim berharap kenyataan itu harus menjadi kesadaran bersama sehingga dapat dilakukan langkah antisipatif agar tidak memberikan dampak negatif yang lebih luas.
“Kekhawatiran itu wajar dan ini kan sebenarnya residu dari pilpres dan beberapa pilkada sebelumnya. Jadi itu residu, nah memang harus diantisipasi dan itu harus dilakukan oleh semua pihak, saya kira tidak hanya dari partai politik, kandidat dan penyelenggara ya, memang harus serius supaya kemudian polarisasi itu bisa diminimalisasi,” ujar Surokim, Senin (20/3).
Dikatakan Surokim, tujuan dari pemilu dilaksanakan bukan untuk memecah belah, melainkan memperkuat kesatuan dan persatuan masyarakat sebagai bangsa. Dengan biaya politik yang mahal, seharusnya mampu memberikan harmonisasi bukan malah mempertajam polarisasi.
“Untuk apa kita menyelenggarakan pemilu mahal-mahal kalau kemudian hasilnya justru memicu konflik dan polarisasi yang kemudian bisa membahayakan keutuhan negara,” paparnya.
Surokim menambahkan, untuk meminimalisir terjadinya polarisasi para kandidat harus lebih banyak berbicara program apa yang akan ditawarkan kepada masyarakat.
“Jadi pesan ini mestinya harus disuarakan oleh semua pihak makanya kita berkepentingan untuk terus mendorong pemilu programatik itu tujuannya itu supaya kemudian tidak bicara kandidat melulu. Tetapi lebih pada program-program karena kalau kita bicara pada pemilu programatik otomatis bisa mereduksi itu polarisasi polarisasi itu,” ucapnya.
“Tetapi kalau kita bicaranya fokusnya pada kandidat dan orang maka ujung-ujungnya memang akan melahirkan like and dislike jadi pemilu ini harus kita dorong untuk menjadi pemilu programatik dan pemilu berintegritas itu dalam rangka salah satunya untuk mereduksi polarisasi,” imbuh Surokim.
Lanjut Surokim, kekhawatiran Presiden Jokowi soal ancaman polarisasi memang nyata dan terjadi di masyarakat, meskipun tingkat elit sudah rekonsiliasi namun ditingkat bawah masih ada yang belum selesai.
“Karena kita semua ini saya kira bukan hanya peringatan presiden tetapi itu sudah memang nyata adanya di masyarakat dan residu itu bisa kita rasakan sampai saat ini kalau kemarin sudah ada rekonsiliasi di tingkat pusat Pak Jokowi mengakomodasi kepentingan Pak Prabowo tetapi di level bawah kan belum sepenuhnya itu bisa terkonsiliasi Itu bisa mudah selesai,” terangnya.
Oleh sebab itu, hasil penelitian dari Laboratorium Psikologi Politik UI tersebut harus menjadi peringatan bagi semua kalangan untuk tidak menggunakan cara-cara kampanye yang dapat memperuncing polarisasi yang lebih ekstrem ke depan.
“Lampu kuning sudah dan kalau nanti itu terjadi di 2024 itu berbahaya, saya berharap kita sudah lebih siap untuk menuju pemilu programatik dan kita lawan saja pemilu-pemilu yang punya potensi untuk membuat polarisasi kita semakin atau sosialisasi politik yang seperti itu sudah tidak laku lagi bagi masyarakat kita, saya kira tidak ada gunanya dan tidak ada maknanya bagi masyarakat kita,” urai Surokim.
Sementara itu, Ketua Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Absor Abdala juga mengaku cemas dengan polarisasi yang terjadi di masyarakat, bahkan semakin tajam seiring berjalannya waktu belakangan ini.
“Memang di masyarakat terjadi banyak polarisasi. Polarisasi sudah secara de facto terjadi, nah bagaimana kita memahami kenapa ini terjadi dan kenapa? Apa proses-proses sosial dan faktor-faktor apa yang membuat ini semua mungkin terjadi,” ucap Ulil saat menjadi narasumber rilis survei nasional Laboratorium Psikologi Poltik UI, Minggu (19/3/2023).
Salah satu upaya untuk mengatasinya, menurut Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah, adalah dengan mengimbau kepada pemengaruh (influencer) agar tidak ikut dalam kontenstasi politik tersebut.
Ia menyarankan para influencer puasa menahan diri tidak turun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana.
“Saya mengajurkan tokoh-tokoh bisa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam poltik dukung mendukung,” kata Ulil.
Menurutnya, para influencer itu meski sudah memiliki sikap politik sendiri, ada baiknya tidak menyatakan dukungannya secara terbuka atau bahkan menyerang pihak lain yang bukan pilihannya.
“Ya anda boleh punya pilihan personal siapa yang nanti akan saya pilih dan ambil di pilpres mendatang, misalnya atau anda punya pilihan sendiri itu tidak apa-apa,” jelas Ulil
“Tetapi kalau kebetulan anda ini posisinya adalah seorang influeser apalagi kiai atau seorang intelektual. Apalagi influencer yang followernya satu juta misalnya, itu sebaiknya tidak terlibat di dalam percakapan soal ini,” tambahnya
Lebih lanjut kata Ulil, alangkah baiknya pengaruh yang dimiliki influencer dan tokoh yang memiliki pengaruh besar di masyarakat menggunakan kanal media sosialnya untuk mendinginkan suasana agar tetap kondusif.
“Pilihan anda itu jadikanlah sebagai pilihan personal saja, ketika terjadi polarisasi kita kalau bahasa Jawanya ngedem-ngedemke itu mendinginkan suasana bukan malah ikut terlibat di dalam polarisasi ini,” tuturnya.
“Jadi tugas-tugas publik anda di dalam situasi seperti ini adalah bukan ikut mendorong terjadinya polarisasi dengan memihak salah satu calon, tetapi mendinginkan suasana,” tegas Ulil.
Disisi yang lain, kata Ulil, fenomena yang terjadi malah sebaliknya, yaitu influencer yang tidak setuju dengan pilihannya akan dicap sebagai kelompok jahat atau istilahnya di ‘demonisasi’ sebagai kubu setan atau sesat.
“Karena selalu ketika terjadi polarisasi itu yang terjadi adalah orang yang tidak setuju dengan kita ya atau kubu lain itu kita anggap sebagai kekuatan jahat, demonisasi istilahnya ya, kita mendemonkan atau mensetankan kelompok yang tidak sepilihan dengan kita. Pilihan oke tapi demonisasi itu yang menurut saya berbahaya,” tukas Ulil.