JawaPos.com – Kops Lalu Lintas (Korlantas) Polri telah resmi menghentikan sementara penerbitan dan perpanjangan pelat khusus (RF) dan pelat rahasia bagi pejabat kepolisian maupun pemerintahan sejak Oktober 2022 lalu.
Sehingga ada aturan baru, kini setiap Polda tidak bisa lagi sembarangan mengeluarkan pelat nomor RF, tetapi harus melalui pemeriksaan Korlantas Polri dan dibatasi hanya untuk pejabat eselon I dan eselon II.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai harus ada aturan yang lebih ketat lagi dalam memberikan pelat nomor khusus kepada para pejabat. Di antaranya, penggunaan pelat nomor saksi itu harus dibarengi dengan pengawalan pada saat di jalan raya. Hal itu sesuai dengan peraturan yang sudah ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Pertama bahwa itu penggunaan pelat RF harus disertai dengan pengawal, menurut undang-undang nomor 22 tentang jalan. Itu hanya digunakan pada saat jam kerja, jadi di luar jam kerja dilarang menggunakan RF, itu menurut saya lebih fair,” saran Trubus saat dihubungi, Jumat (17/3).
Menurut Trubus, penggunaan pelat nomor RF harus dengan pengawalan dan hanya di jam kerja agar tidak menimbulkan arogansi dari pengguna serta kegeraman di masyarakat. Sebab, kata dia, banyak penyalahgunaan pelat nomor RF oleh anak, ponakan dan kerabat dari pejabat itu sendiri. Disamping itu, mereka juga kerap menggunakan pelat nomor RF tidak pada waktu jam kerja dan untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, Trubus juga menyarankan agar pemberian pelat nomor RF dibatasi. Misalnya, pejabat negara yang diperbolehkan hanya eselon I dan tetap harus menggunakan pengawalan atau voorijder. Sebab menurutnya kemarahan masyarakat timbul, lantaran para pejabat minta diistimewakan di jalanan tapi tidak menggunakan pengawalan atau vooridjer.
Sehingga jika ingin diistimewakan, kata Trubus, pemilik RF harus juga menggunakan voorijder.
“Itu masyarakat marah karena mereka tanpa pengawal terus mereka minta privalage, kan bayarnya sama. Bahkan mereka bensinnya dibayar negara, tolnya dibayar negara. Sementara masyarakat bayar bensin sendiri, bayar tol sendiri dan diakal-akalin mereka jadi artinya mereka dimarginalkan,” tutur Trubus.