JawaPos.com – Bank Indonesia (BI) memastikan suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR) masih memadai. Sikap hawkish The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya tidak direspons linier. Sebab, likuiditas perbankan dalam negeri sangat berlebih.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menuturkan, kenaikan BI7DRR bukan satu-satunya kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral. Pihaknya juga melakukan sejumlah intervensi moneter. Sedangkan dari sisi makroprudensial dan perbankan, kebijakan diarahkan untuk mendorong ekonomi (pro-growth).
”Hal itu dilakukan untuk menjaga ekspektasi depresiasi. Saya kira kebijakan Bank Indonesia saat ini lebih granular. Jadi, tidak hanya dari suku bunga,” jelas Erwin dalam pelatihan dan pendalaman bauran hasil kebijakan rapat dewan gubernur (RDG) BI Maret 2023 di Royal Ambarukmo kemarin (18/3).
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Firman Mochtar mengatakan, mandat bank sentral adalah menjaga inflasi. Nah, komponen-komponen penyusun inflasi tentu menjadi perhatian. Begitu pula efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
BI juga memantau fluktuasi nilai tukar rupiah. Dari sisi eksternal, pergerakan suku bunga acuan The Fed alias Fed fund rate (FFR) memengaruhi aliran modal investor. Jika FFR naik, investor akan mencari negara dengan imbal hasil menarik untuk menanamkan modalnya. Dengan demikian, investor akan mencabut dananya dari negara berkembang, termasuk Indonesia. ”Kalau itu terjadi, kurs (rupiah) akan melemah. Kalau melemah akan berkaitan dengan inflasi,” kata Firman.
Nah, bagi BI, pergerakan FFR akan memengaruhi inflasi atau tidak. Dengan demikian, ketika The Fed menaikkan suku bunganya, tidak langsung direspons dengan kebijakan yang sama. Kalau dampaknya tidak berlebihan, bisa dilakukan intervensi di pasar valas untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. ”Kami timbang dulu. Bagaimana implikasinya terhadap inflasi dan nilai tukar? Baru diputuskan,” terangnya.