Seperti diputar suatu keajaiban, empat gadis yang sangat lama terpisah itu tiba-tiba bertemu kembali. ”Saya Liani, 24 tahun, dari kota-desa Jampiraga.” ”Ya, saya Suningsih, 25 tahun, dari Jampiraga.” ”Saya Margaret, hampir 26 tahun, jelas dari Jampiraga.” ”Saya Artini, seumur Margaret, juga dari Jampiraga.”

MEREKA lantas berpelukan hangat sekali.

Mereka bersahabat erat ketika masih di sekolah dasar di Jampiraga, sebuah kota kecil yang tidak ada di peta, di ujung Pulau Jawa. Ke mana-mana mereka berempat. Namun persabatan empat sekawan itu terkoyak ketika di Jampiraga terjadi peristiwa perang sronthet yang dilakukan geng dukun antardusun. Perang mistik yang disarati klenik itu dipercaya akan memakan korban para perempuan belia dari kedua belah pihak. Para gadis itu, kalau tidak jadi lemah mental dan bodoh, bakal sakit dan mati. Yang paling ringan adalah, kelak pada kemudian hari si gadis akan mengusung takdir berat jodoh. Alhasil, sebagian besar gadis cilik di Jampiraga dipindahkan ke tempat lain nan jauh oleh para orang tuanya. Termasuk Liani, Suningsih, Margaret, dan Artini.

Kini mereka bertemu di Jakarta secara tidak diduga, tidak disangka, dan tidak dinyana.

”Aku ingat benar, dulu Margaret paling suka bikin toko-tokoan yang jual pakaian, dengan busana yang dibikin dari potongan kertas. Dan memasang label di tokonya dengan tulisan Toko Lay Oen,” kata Artini mengenang.

”Aku juga ingat betul, Artini paling senang menonton tukang sulap di pasar malam dan membeli diktat ilmu sulap beberapa amplop,” sambung Margaret.

Berbulan-bulan empat gadis itu terkait dalam suasana persahabatan yang manis. Setiap minggu mereka janjian bertemu di suatu tempat untuk mengolah pembicaraan. Sampai akhirnya mereka menyentuh sebuah hal yang dianggap penting. Masalah pernikahan.

”Rasanya kita harus segera menikah,” Liani memancing persoalan.

”Mungkin harus, tapi tidak segera,” sahut Margaret.

”Boleh kapan saja, kan?” Suningsih mencoba mengembangkan persoalan.

”Tapi persoalannya tidaklah sederhana. Karena, semodern-modernnya kita, yang menentukan dan menyatukan ternyata tetap bukan kita sendiri. Sering pernikahan itu hanya jadi etalase keluarga. Lihat itu di kampung-kampung di ribuan desa,” kata Artini.

”Tetapi biar bagaimanapun, rasanya kita punya cita-cita untuk menikah, ya. Syukur-syukur dapat orang kaya,” Margaret memotong.

Dari sinilah lantas timbul ide itu.

Untuk mengukuhkan nilai persahabatan yang telah terbentuk, dan untuk memantapkan cita-cita yang telah digunjingkan, mereka sepakat membuat sebuah piagam. Benda itu berbentuk nampan lebar dengan tepian berukir indah sekali. Gabungan corak ornamen gaya Art Nouveau dan sunggingan gaya Jepara. Hard chrome plating yang melapisi menjadikan piagam moncer. Berdiri di atas kaki segitiga yang kukuh, piagam berwarna perak mengilap itu jadi benda yang sangat molek dipandang mata.

”Inilah piagam perkawinan. Inilah piagam persahabatan kita!” seru mereka. Mereka lalu memantapkan apa yang telah direncanakan sejak mula. Piagam logam itu untuk sementara disimpannya bersama-sama di safe deposit box sebuah bank, sebelum seorang di antara mereka akan menikah.

Sesuai dengan ide bersama, siapa yang akan menikah dahulu akan menerima piagam itu kali pertama. Nama mempelai beserta hari dan tanggal pernikahan akan diukirkan di salah satu sisi bidang kosong pada bagian tengah piagam tersebut. Dan di bawahnya disediakan kolom untuk tanda tangan ketiga sahabatnya.

Piagam itu akan disimpan oleh mempelai pertama sampai ada di antara mereka menyusul menikah. Untuk kemudian wanita pertama yang menikah wajib mengumpulkan semua sahabatnya untuk menandatanganinya bersama-sama. Begitu seterusnya.

Hari merangkak pasti. Kehidupan empat gadis itu mendaki bukit-bukit kejadian. Dan dua tahun lebih sudah piagam itu mereka rengkuh bersama-sama. Setiap kali, dengan perasaan bukan main kompak, ditengoknya piagam itu dari safe deposit box. Jika ada sisi yang buram, digosoknya dengan lap halus hingga mengilap kembali. Berkilau-kilau bagai matahari.

”Sungguh ganjil. Sesibuk apa pun kita, tapi kalau disuruh menggosok piagam, jalan juga!” kata Suningsih. Yang lain tertawa.

”Itulah gunanya. Dan kita jadi tahu sekarang, kenapa piagam itu kita ciptakan,” kata Liani.

”Serius amat kalian!” celetuk Artini.

Derai tawa terdengar.

***

Hari bahagia! Piagam perkawinan yang dua tahun berhampa-muka itu kini menunjukkan eksistensinya untuk kali pertama. Suningsih menikah. Dengan penuh kebahagiaan dan semangat, ketiga sahabatnya berkumpul dan menjalankan apa yang telah jadi rencana. Nama Suningsih dan suaminya digrafirkan dengan huruf Jerman di piring piagam itu. Kemudian tanggal perkawinannya. Kemudian tanda tangan ketiga sahabatnya. ”Teriring salam bahagia. Tebar bunga puisi senantiasa.” Itu tertulis di atas ukiran nama mempelai.

Dua tahun sudah piagam itu bercokol di rumah Suningsih di Jakarta. Dan kali ini, piagam tersebut harus diboyong ke luar kota. Karena Liani, orang kedua yang menikah di antara mereka, mendapat lelaki yang bermukim di Bandung. Tapi, sungguh tak menjadi soal. Persahabatan bukan diukur dari seberapa jauh jarak yang memisahkan, tetapi seberapa dekat hati yang masih terpautkan.

Semua pun berjalanlah apa adanya. Suningsih, Margaret, dan Artini telah membubuhkan tanda tangan di bawah nama Liani dan suaminya di piring berbinar-binar itu. ”Bahagiamu adalah bahagia kami sepanjang waktu.” Sepotong kata mutiara diukirkan.

Tepat dua tahun kemudian, Margaret memasuki jenjang perkawinan. Ia dapat orang Jakarta.

”Yang aku katakan sungguh tak keliru. Piagam bergilir itu akhirnya kembali milik Jakarta, kota yang mempertemukan kita!” kata Margaret kepada dirinya sendiri. Ia segera mengabari Liani, Suningsih, dan Artini. Dan ia segera pula mengatur bagaimana piagam perkawinan yang berada di luar kota itu, di rumah Liani itu, bisa segera dihadapi dan ditandatangani bersama-sama di Jakarta.

Pesta dan pengukiran piagam itu pun berlangsunglah. ”Kebahagiaan dalam perkawinan sepenuhnya milik pasangan yang bisa menggunakan kesempatan.” Ungkapan populer dari novelis Inggris Jane Austen mereka tuliskan untuk Margaret. Dengan grafir sangat luwes, bernuansa bentuk aksara Jawa.

Di rumah Margaret, piagam cantik itu terpampang di lemari mewah. Berjajar dengan segala macam boneka hias ciptaan banyak bangsa. Dengan lampu-lampu duduk kerdil bikinan maestro kerajinan China, Persia, dan Eropa. Cahaya matahari yang acap kali masuk sering membuat piagam tampak berkilatan. Menghantar gemerlap sinar ke dinding-dinding.

Artini, yang akhirnya bertugas jauh di Bontang, kalau ke Jakarta selalu berkunjung ke rumah Margaret. Kini ia berada di depan etalase yang menantang pandang itu sambil memotret-motret. Dipandangi piagam itu dengan saksama, dengan bibir yang tersenyum senantiasa. Ia tatap tiga jajaran tanda tangan di situ. Ia baca namanya yang tertera jelas di bawah tanda tangannya itu. Selintas ia berpikir, apakah mungkin ia menaikkan namanya ke deretan atas. Berjajar dengan nama-nama yang telah terukir sebagai mempelai?

Margaret muncul di ruang tamu. Artini tersentak. Setelah menatap Artini selintas, Margaret berucap.

”Kaulah yang bakal memiliki piagam itu selama-lamanya. Sesuai dengan perjanjian kita. Siapa yang terakhir menikah, dialah yang mendapatkannya, dialah yang boleh menyimpan selama-lamanya.”

Artini tersenyum.

Margaret melanjutkan bicaranya.

”Kenapa kau tadi hanya melihat lewat kaca? Ah, seharusnya kau mengambilnya langsung dari lemari! Khusus untuk piagam ini, lemari tak pernah kukunci. Aku merasa memiliki kebanggaan sendiri terhadapnya. Sehingga setiap orang yang ke sini ingin segera aku pameri. Piagam persahabatan ini patut kubanggakan ke mana-mana.”

***

Udara di luar hangat seperti biasanya. Tetapi Margaret seperti terserang badai. Kepada Liani dan Suningsih ia melaporkan bahwa nampan kemilau itu, yang ia simpan sangat hati-hati selama tiga tahun, hilang dari lemari etalasenya. ”Saya menelepon Artini di Bontang, telepon tak bersambung! Apa itu artinya?” kata Margaret penuh emosional.

Liani dan Suningsih berusaha menghubungi Artini dengan berbagai cara. Memang tak bersambung. Sampai akhirnya didapat kabar bahwa Artini sudah tak lagi di Bontang. Ia ditugaskan oleh perusahaannya menjadi kepala perwakilan nun di Sao Paulo, Brasil.

”Jangan-jangan Artini kena dampak perang sronthet Jampiraga, sehingga tak menikah, sehingga membawa lari piagam kita,” kata Margaret. Liani dan Suningsih diam saja.

Lima tahun sudah piagam itu raib.

Liani berbahagia dengan anak tunggalnya yang pintar, ganteng, dan sangat baik hati. Suningsih, meski hidup bersama suami pengarang yang ekonominya niscaya pas-pasan, selalu bersuka-suka dengan tiga putrinya. Sedangkan Margaret, yang dianugerahi dua anak dan kekayaan berlimpah, sejak tahun ketiga perkawinannya: bercerai. Pasalnya, suaminya ditangkap karena terbukti berkali-kali menyuap aparat ketika jadi bandar judi online. Seluruh kekayaannya disita polisi. Tingkah laku Margaret akhirnya sering uring-uringan. Berbagai benda dihujat, dijadikan sasaran kemarahannya kepada mantan. Benda-benda memori perkawinannya dibenci dengan segenap dendam. Ia pun acap tercenung-cenung sendirian pada subuh, pada siang, pada larut malam.

Pada suatu sore saat ia termangu-mangu, datanglah sekotak paket yang terbungkus kukuh dan rapi. Margaret melihat paket itu. Dari Sao Paulo! Margaret membukanya. Isinya nampan besar berlapis emas yang merupakan replika istimewa dari piagam yang hilang itu. Di piagam berkilau tersebut tertera salinan nama tiga mempelai dan tanda tangan yang ramai-ramai mereka cantumkan dulu. Sementara di sisi lain tertera nama Artini, yang diiringi tanda tangan belasan sahabatnya dari berbagai bangsa: Yoshua Heschel, Otto Dix, Vasily Surikov, Kawabata, Gao Xingjian, Arcimboldo, Rephoth Sarunganseng, Rudi Hartono, Salma Al Jayyusi, Messi Lionel, Mulk Raj Anand, dan seterusnya.

Di atas tanda tangan Artini termaktup kalimat: ”Pada satu situasi, sekumpulan sahabat sejati lebih bernilai dari seribu suami.”

Sementara di belakang nampan emas itu terlampir surat dari Artini yang bertulis begini: Aku tahu yang kalian pikirkan. Tapi sungguh kejam apabila aku dituduh mencuri piagam itu. Aku hanya punya fotonya. Dari foto itulah aku membuat replika ini. Untuk kalian juga.

Margaret tertunduk dan bingung. Setelah merenung, ia berjalan menuju pojok rumah. Dibukanya lemari yang penuh barang. Selempeng nampan berwarna perak tampak menyapa dalam kegelapan selipan. Dipeluknya benda itu erat-erat. Dengan lirih ia lantas berguman.

”Aku sekarang sungguh percaya: lebih berguna sejumput sahabat ngumpul dibanding seekor suami bajindhul.” (*)

Kelapa Gading, Jakarta, 2023

AGUS DERMAWAN T.

Kritikus seni rupa yang juga menggubah sastra. Kumpulan cerpennya, Odong-Odong Negeri Sulap, terbit pada November 2022.

By admin