Eks Anggota TGIPF Tragedi Kanjuruhan Sesalkan Putusan PN Surabaya
JawaPos.com – Kekecewaan atas hasil putusan bebas dua terdakwa tragedi Kanjuruhan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya tidak membuat kuasa hukum Tim Gabungan Aremania berhenti bergerak. Saat ini, mereka sedang mengupayakan berbagai langkah. Salah satunya adalah kembali meminta Mabes Polri memproses laporan tipe B yang beberapa waktu lalu diberikan.
Laporan tipe B adalah laporan yang dibuat polisi berdasar pengaduan yang diterima oleh masyarakat. Karena itu, beberapa waktu lalu, keluarga korban dan kuasa hukum TGA datang langsung ke Mabes Polri. Mereka membuat laporan tipe B berdasar aduan para korban di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober tahun lalu.
Dalam laporan tersebut, ada dugaan pelanggaran Pasal 351, 353, dan 354 KUHP tentang Penganiayaan Berat yang Mengakibatkan Luka Berat dan Kematian. Juga pelaporan Pasal 338 dan 340 KUHP tentang Dugaan Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana. Terlapornya adalah petugas Sabhara Polres Malang, petugas Sat Brimob Polda Jatim, mantan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat, dan mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta.
”Karena pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab ini kami harap bisa diusut dengan laporan tipe B ini,’’ jelas Anjar Nawan Yusky, anggota kuasa hukum Tim Gabungan Aremania, kepada Jawa Pos.
Anjar menyebut putusan PN Surabaya itu kurang memenuhi rasa keadilan. ”Tidak sebanding dengan jatuhnya ratusan korban jiwa dan luka,’’ katanya.
Selain itu, ada satu catatan penting yang dilupakan. Yakni, restitusi untuk korban yang sudah diajukan oleh tim hukum TGA melalui LPSK. ”Sudah diteruskan ke Kejati Jatim, ternyata tidak diakomodasi dalam surat tuntutan terhadap kelima terdakwa tragedi Kanjuruhan,” jelasnya.
Sementara itu, Akmal Marhali, mantan anggota tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan bentukan pemerintah, sangat menyesalkan vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Surabaya. Menurut Akmal, vonis kepada para terdakwa tragedi yang merenggut 135 nyawa tersebut menjadi bukti lemahnya penegakan hukum dalam kejadian berdarah yang menjadi sorotan dunia itu.
”Rekomendasi TGIPF dilupakan. Banyak saksi dan korban tidak didatangkan, lalu banyak fakta diabaikan,’’ ujar koordinator Save Our Soccer (SOS) tersebut kepada Jawa Pos kemarin (17/3).
Pada Kamis (16/3), majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membebaskan eks Kabagops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan eks Kasatsamapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, dua dari tiga polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan. Perbuatan kedua terdakwa dianggap tidak berkaitan dengan tewasnya 135 Aremania, 24 orang luka berat, dan 623 orang luka ringan dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 1 Oktober lalu itu.
Hanya eks Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan yang dihukum penjara 1,5 tahun. Vonis yang sama dijatuhkan kepada mantan Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris. Sedangkan eks Security Officer Arema FC Suko Sutrisno dihukum satu tahun penjara.
Akmal mempertanyakan vonis satu tahun penjara terhadap security officer Arema FC. Padahal, dia dituntut 6 tahun 8 bulan penjara. Yang lebih memprihatinkan, lanjut dia, vonis bebas terhadap dua polisi yang menjadi terdakwa.
”Alasannya, tidak ada fakta hukum yang bisa menjerat mereka. Korban yang meninggal dianggap terkena gas air mata yang tertiup angin. Sungguh ironis, angin disalahkan,’’ ujarnya.
Terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti sikap jaksa penuntut umum (JPU) yang belum mengajukan banding atas vonis bebas dua terdakwa polisi oleh hakim PN Surabaya. Sikap gamang tersebut dinilai semakin menguatkan bahwa penanganan perkara Kanjuruhan memang tidak dilakukan secara serius sejak awal hingga persidangan.
”Kalau memang (jaksa kasus Kanjuruhan, Red) serius, seharusnya langsung banding, tidak perlu pikir-pikir,” kata Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha kepada Jawa Pos kemarin.
Keraguan jaksa dalam menyikapi vonis bebas terdakwa polisi, kata Praswad, berpotensi diartikan oleh masyarakat sebagai upaya melindungi pelaku kejahatan.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur yang juga menjadi bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil menambahkan, vonis ringan terhadap para pelaku tragedi Kanjuruhan sangat jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan para terdakwa divonis pidana seberat-beratnya dan seadil-adilnya. ”Harapannya juga dapat mengungkap aktor high level,” tuturnya.
Isnur bersama Koalisi Masyarakat Sipil lainnya sudah mencurigai sejak awal proses hukum tragedi Kanjuruhan sengaja dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail). Kesimpulan itu diperkuat dengan rangkaian keganjilan yang menyertai penanganan kasus tersebut sejak proses penyidikan hingga persidangan.
Salah satu keganjilan yang mencolok adalah tidak adanya aktor lapangan yang diproses dalam kasus tersebut. Di tahap sidang, akses pengunjung dan pemantau persidangan sangat terbatas. Bahkan, terdakwa sempat hanya dihadirkan secara online meski pandemi Covid-19 sudah melandai. ”Jaksa penuntut umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil,” ujarnya.
Selain itu, Isnur juga menyinggung adanya kelompok anggota Polri yang membuat gaduh proses persidangan. Pun, ada pengaburan fakta penembakan gas air mata ke bagian tribun penonton hingga peristiwa kekerasan dan penderitaan suporter, baik di dalam maupun di luar stadion, yang tidak diungkap secara utuh.
”Proses persidangan ini telah menunjukkan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak benar-benar berpihak kepada korban dan keluarga korban kejahatan,” imbuhnya.