Bercanda bisa jadi jurus andalan untuk mencairkan suasana sebagai bagian dari ice breaking. Namun, di sisi lain juga bisa menimbulkan masalah ketika candaan yang disampaikan menyinggung pihak lain, alih-alih menghibur. Karena itu, penting untuk menerapkan etika komunikasi dalam setiap praktik berbicara. Termasuk bercanda.
—
SAAT bercanda, ada pihak yang melempar candaan (komunikator), audiens yang menyimak atau diajak bercanda (komunikan), serta candaan itu sendiri (pesan). Menyajikan materi gurauan yang diamini lucu oleh audiens menjadi tantangan tersendiri bagi sang komunikator. Di sini, perspektif menjadi penting. Sebab, lucu bagi komunikator belum tentu dinilai lucu oleh komunikan. Bisa jadi seseorang dalam sebuah forum menyatakan dirinya tengah bercanda. Namun, sesungguhnya meniatkan diri untuk merendahkan orang lain di hadapan publik dengan sengaja.
Amati Kondisi Lawan Bicara
Penting sekali memperhatikan kondisi lawan bicara saat bercanda. Baik secara fisik maupun mental. Apakah dia sedang sehat jiwa raga? Atau, sedang menyimpan masalah berat seorang diri? Misalnya, seorang ibu mengobrol dengan putrinya yang beranjak remaja. ”Kakak sekarang gendutan. Jangan banyak makan dong, Kak. Nanti dikira buto ijo, lho!’’
Ibu tersebut ingin putrinya lebih mengatur pola makan dan coba menyelipkan candaan dalam ucapannya. Namun lupa, bahwa putrinya sedang beranjak remaja dan bisa jadi memaknainya (frasa buto ijo) berbeda. Bukannya mengelola nafsu makannya, sang anak justru terjerembap pada rasa ketidakberhargaan dan membuatnya overthinking, bahkan insecure.
Niat, Tempat, dan Waktu
Pernah mendapati orang yang terampil mengolok-olok dirinya hingga berhasil membuat seisi ruangan yang menyaksikan tertawa terbahak-bahak tanpa ada satu pun orang tersinggung? Itulah seninya bercanda. Bagaimana kita sesekali menjual ”kelemahan”, ”ketakutan”, maupun ”aib” dalam diri kita sehingga membuat orang lain secara tidak sengaja justru reflektif atas dirinya sendiri. Lebih baik menertawakan kebodohan diri sendiri ketimbang menjual kondisi orang lain (fisik dan nonfisik) sebagai materi candaan.
Sering terjadi, makin kuat kesamaan budaya, makin mudah tertawa bersama-sama. Dan, menghibur tidak berarti merendahkan. Kuncinya ada pada intensi atau niat, tempat, waktu, medium yang digunakan, termasuk psikologi audiens. Bercanda seyogianya bukan untuk kepuasan diri sendiri. Namun, untuk meningkatkan hubungan baik antara diri kita dan orang lain.
Sesuaikan Bentuk Relasi, Hindari Topik Sensitif
Bercanda dengan orang yang sudah dikenal baik dengan orang yang tidak begitu akrab tentu tidaklah sama. Relasi yang baik membuat seseorang tidak mudah tersulut emosi ketika mendapati diri kita sedang bercanda. Sebab, dia tahu, tidak ada niat sedikit pun dari kita untuk melukai hati. Meski begitu, tidak berarti bisa kelewat batas. Tetap jaga perasaannya.
Jika dengan orang yang tidak begitu dekat atau bahkan belum kenal sama sekali coba lontarkan gurauan yang netral, tidak menyinggung, dan berpotensi bullying. Hindari isu sensitif terkait kondisi fisik dan juga SARA. Semakin kita aware dengan latar belakang target audiens, makin besar potensi keberhasilan kita melemparkan candaan tanpa membuat orang lain tersakiti.
Segera Minta Maaf jika Menyinggung
Jangan segan untuk meminta maaf ketika menyadari candaan Anda tidak pada tempatnya. Hubungan baik, reputasi, dan personal branding yang Anda bangun dengan susah payah terlalu mahal untuk dirusak oleh materi candaan yang bisa jadi hanya terlontar sekian detik. Meminta maaflah dengan tulus karena dengan demikian orang tahu, Anda tidak ada niat untuk menyakiti. Dan, Anda telah belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. (*)
*) RIZQIANI PUTRI, Founder Sinergi Bicara, Pengajar Public Speaking Universitas Airlangga