Kepeduliannya terhadap aktivitas di media sosial membuat lima siswa SMAN 2 Surabaya berbicara di konferensi internasional Rabu (15/3). Tepatnya di Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia. Ada misi khusus yang dibawa. Salah satunya, penerapan cybergogy dalam kurikulum sekolah.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya

PEMANDANGAN berbeda terlihat di Gedung E-Learning Kampus UPSI Malaysia Rabu (15/3). Bagaimana tidak, Acquirell Kriswanto, Bill Kent Fahreshi, Bravo Mayfell Timothy Tema, Clairina Elvina Indriani, dan Fairuz Zahirah mengenakan seragam putih abu-abu mereka. Sementara itu, peserta lain tampil berbalut batik hingga jas rapi.

Rasa cemas dan gugup harus dikesampingkan lima siswa SMAN 2 tersebut. Mereka hanya fokus pada materi yang disusun. Meskipun, perasaan deg-degan masih mereka rasakan. Hari itu, Clairina dan rekan-rekannya tersebut adalah satu-satunya peserta yang masih berstatus pelajar sekolah menengah atas (SMA). Sedangkan peserta lainnya merupakan akademisi, dosen, dan mahasiswa pilihan.

Konferensi internasional yang mereka ikuti berfokus pada perkembangan dunia pendidikan. Tepuk tangan peserta membuat Bill Kent Fahreshi percaya diri. Apalagi, tema yang mereka angkat berkaitan dengan problem media sosial yang dialami remaja.

Topiknya adalah Mengeksplorasi Cybergogy dalam Konteks Pendidikan Sosial Lingkungan pada Generasi Muda.

Bill Kent, sapaan akrabnya, memaparkan beberapa hasil riset kelompoknya. Topik yang diusung dibuat dengan melakukan beberapa riset. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Dia dan rekan-rekannya sengaja menyurvei 100 guru dan siswa SMA dari berbagai sekolah. Hasilnya, sebanyak 98 persen mereka menggunakan dan aktif bermedia sosial.

Survei tersebut sejalan dengan konsep tema yang mereka buat. Yakni, cybergogy seharusnya bisa diterapkan di dalam kurikulum. Hanya, pola dan sistemnya perlu dibuat mendalam. Lima siswa tersebut mengusulkan kampanye peduli lingkungan bisa dibuat melalui medsos.

Jadi, beber Bill Kent, fokusnya pada pembuatan konten mengenai peduli lingkungan. Setiap sekolah, kelas, atau kelompok bisa saling beradu konten terkait masalah lingkungan. Kemudian, konten itu di-upload di medsos dan diadu untuk bisa trending. ’’Konsep seperti ini yang kami dorong masuk ke kurikulum,’’ jelas Bill Kent yang menjadi leader.

Menurut dia, penerapan cybergogy seperti itu harus didorong menjadi output dalam pembelajaran sehingga semua sekolah bisa melakukannya. Mengingat manfaatnya luar biasa. Minimal para siswa bisa peka terhadap masalah lingkungan yang ada di sekitarnya.

Selain itu, secara tidak langsung multidisiplin ilmu siswa akan keluar. Mereka akan belajar mengedit video dan cara agar trending di platform medsos.

Jika hal itu bisa terbentuk, iklim atau suasana di medsos juga bisa lebih sehat. Dengan begitu, isinya tidak banyak sisi negatifnya. ’’Kalau ini digaungkan, otomatis lini masa medsos pelajar akan terisi aksi ini,’’ ucap siswa kelas XI itu.

Konsep tersebut juga melihat aksi dari Pandawara Group. Kontennya berisi anak muda yang peduli lingkungan. Aksi itulah yang ingin dikampanyekan Bill Kent dan rekan-rekannya. Salah satu caranya dengan masuk kurikulum sekolah. Dengan begitu, konten yang dibuat siswa bisa menarik netizen lainnya untuk concern pada masalah lingkungan.

Bill Kent menuturkan, latar belakang topik karya ilmiah itu dibuat karena melihat situasi medsos sekarang. Yakni, banyak konten yang kurang bermanfaat. Parahnya, hal semacam itu justru digemari para remaja hingga anak-anak. Sementara, kontrol orang tua untuk kegiatan anaknya di medsos terbatas.

Pihaknya berharap topik itu bisa diterapkan dalam kurikulum sekolah. Atau, paling tidak jadi acuan sekolah sebagai tolok ukur ketercapaian belajar. Dengan demikian, medsos bisa memengaruhi lingkungan menjadi baik.

Sementara itu, pembimbing karya ilmiah Condro Wiratmoko mengungkapkan, konsep yang disampaikan anak-anak mendapat apresiasi dari rektor UPSI dan peserta lainnya.

Guru mata pelajaran seni budaya SMAN 2 itu menjelaskan, riset butuh waktu sebulan untuk menggali data di lapangan. Namun, penyusunan artikelnya hanya butuh waktu dua minggu. Keberadaan mereka di konferensi tersebut juga melalui tahapan seleksi cukup panjang.

Konferensi internasional yang mereka ikuti itu bisa menjadi bekal para siswa. Terutama dalam menyusun karya ilmiah.

By admin