IDENTITAS komunal dan tribalisme masih menjerat solidaritas masyarakat Indonesia. Identitas tersebut telah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia selama berabad-abad, kemudian membentuk sikap, kepercayaan, dan perilaku masyarakat. Selain itu, kepentingan politik dan ekonomi sering memanipulasi identitas komunal dan tribalisme untuk keuntungan mereka, yang selanjutnya melanggengkan perpecahan dan ketidaksetaraan.
Menurut Amy Chua (2018), tribalisme politik dikelompokkan dengan kesamaan identitas dan keyakinan yang membentuk pandangan dan tindakan politik kelompok masyarakat. Orang bisa menjadi anggota suku politik dengan berbagai cara. Beberapa mungkin dilahirkan dalam suku tertentu berdasar latar belakang keluarga atau warisan budaya mereka.
Orang lain mungkin bergabung dengan suatu suku berdasar nilai-nilai bersama atau keyakinan politik. Sayang, suku politik justru berkontribusi pada polarisasi dan konflik. Sebab, individu yang terlibat dalam suku politik mempunyai keyakinan yang mengakar serta tidak berkompromi terhadap suku yang berbeda.
Politik identitas terutama mendorong politik tribalisme Indonesia berdasar agama, etnis, atau wilayah. Kelanjutan politik tribalisme kini menghambat kemajuannya untuk mencapai keadilan yang lebih besar, solidaritas politik, dan kesadaran kelas sosial.
Salah satu isu kritis Indonesia terkait politik tribalisme adalah marginalisasi dan diskriminasi masyarakat adat. Masyarakat adat di Indonesia terus menghadapi diskriminasi dan marginalisasi sistematis. Oleh karena itu, mereka memperjuangkan hak dan pengakuan melalui gerakan-gerakan yang masih berlangsung hingga kini.
Aspek lain dari politik tribalisme Indonesia adalah tumbuhnya pengaruh politik identitas berbasis agama, khususnya Islam. Sejak era reformasi, agama semakin menonjol dalam lanskap politik Indonesia, yang berimplikasi signifikan terhadap sistem demokrasi, pluralisme, dan nasionalisme negara. Kebangkitan Islam sebagai identitas politik berkontribusi pada meningkatnya polarisasi masyarakat. Beberapa kelompok menjadi lebih konservatif dan tidak toleran terhadap kelompok minoritas.
Misalnya, kasus kebakaran di depo Pertamina baru-baru ini di Tanah Merah, Jakarta (3/3), yang menelan sedikitnya 19 korban jiwa dan puluhan lainnya luka-luka. Kasus ini menjadi contoh pedih bagaimana isu identitas dan politik dapat menciptakan perpecahan dalam masyarakat Indonesia dengan terdapat perbedaan tajam dalam cara masyarakat bereaksi terhadap tragedi tersebut.
Terdapat dua kelompok pendapat yang bersengketa, yaitu kelompok anti-Anies Baswedan dengan kelompok pro-Anies Baswedan. Anies Baswedan merupakan mantan gubernur Jakarta yang terafiliasi dengan partai mayoritas muslim, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kelompok anti-Anies menuding pemberian izin tinggal bagi warga beberapa tahun lalu mengakibatkan lingkungan menjadi padat, dan berkontribusi memperparah bencana. Di sisi lain, kelompok pro-Anies menyalahkan pemerintah pusat atas kelalaian dalam mengawasi dan menegakkan peraturan di depo Pertamina. Mereka meminta Pertamina bertanggung jawab.
Peristiwa Tanah Merah hanya satu dari sekian banyak masalah politik dan sosial berbasis identitas dan tribalisme. Semisal, konflik antara pemerintah dengan kelompok separatis Papua yang kerap dilihat melalui etnisitas dan agama. Padahal, masalah utamanya adalah ketimpangan dan marginalisasi ekonomi.
Beberapa upaya mesti dilakukan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dengan mengatasi masalah struktural yang mendasari pelanggengan ketidaksetaraan dan marginalisasi. Hal tersebut termasuk meningkatkan akses pendidikan dan kesempatan kerja, supremasi hukum, dan membuka ruang dialog antaragama dan antaretnis.
Menjelang Pemilu 2024, publik perlu menuntut akuntabilitas dan transparansi dari para pemimpin mereka dan memprioritaskan isu-isu publik, bukan isu sektarian. Dengan demikian, Indonesia dapat melepaskan diri dari politik identitas dan tribalisme, sehingga dapat bekerja menuju masyarakat yang lebih kohesif dan adil.
Perlu dicatat, politik tribalisme di Indonesia tidak hanya melibatkan kelompok Islam. Kelompok nasionalis dan sekuler juga turut berkontribusi dalam munculnya tribalisme. Mereka hanya memperjuangkan kepentingan kelompok dan mengabaikan solidaritas politik, sehingga tidak fokus pada isu utama terkait ketimpangan sosial ekonomi.
Lantas, bagaimana Indonesia bisa menjauh dari tribalisme politik dan menuju solidaritas yang lebih besar berdasar nilai dan tujuan bersama? Salah satu solusi yang mungkin adalah membangun identitas nasional yang lebih inklusif dan mendorong persatuan melalui pendidikan politik. Visi bersama tentang apa artinya menjadi Indonesia, terlepas dari suku, agama, atau daerah, harus diciptakan. Dengan ini, negara dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama untuk membangun masyarakat yang adil dan egaliter.
Lebih lanjut, partai politik berikut pimpinannya harus mengutamakan kepentingan seluruh rakyat. Makanya, perlu perubahan pola pikir menuju empati yang lebih besar tentang perjuangan dan tantangan yang akan dihadapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Beberapa partai sudah menegaskan tidak akan menggunakan politik identitas dalam Pemilu 2024. Tentu ini hal positif, meskipun dalam praktiknya rakyat harus tetap mengawasi dan menagih hal itu. Bila ternyata hanya lip service, rakyat bisa menghukumnya dengan tidak memilih partai tersebut.
Sebab, tribalisme politik di Indonesia telah membawa berbagai hambatan untuk kemajuan negara, solidaritas politik, dan kesadaran kelas. Negara harus menjauh dari politik identitas berdasar agama, etnis, atau wilayah dan menuju identitas nasional yang inklusif.
Pemilu 2024 membuka kesempatan bagi Indonesia untuk meninggalkan tribalisme politik menuju solidaritas sosial, dengan syarat partai politik dan pemimpinnya harus memprioritaskan pembangunan masyarakat yang lebih adil dan egaliter. Juga berupaya menciptakan visi bersama tentang apa artinya menjadi Indonesia. Kita mesti mematri ke alam bawah sadar bahwa politik secukupnya, Indonesia selamanya. (*)
*) VIRDIKA RIZKY UTAMA, Peneliti PARA Syndicate, mahasiswa pascasarjana ilmu politik Shanghai Jiao Tong University