JawaPos.com – Dada Rini Hanifah sesak. Tubuhnya seketika gemetar ketika sang suami memberi tahu putusan bagi terdakwa tragedi Kanjuruhan kemarin (16/3). Dia tidak terima atas vonis tersebut dan tidak bisa menutupi kemarahannya.
”Sangat kecewa dengan kepolisian dan pemerintahan di Indonesia. Hukum di Indonesia tidak bisa dipercaya lagi,” ucapnya.
Rini langsung teringat sang anak, Agus Riansyah, yang menjadi salah satu korban meninggal tragedi pada 1 Oktober 2022 malam itu. ”Sepertinya nyawa anak saya tidak ada harganya di mata hukum Indonesia,” lanjutnya dengan suara serak ketika dihubungi Jawa Pos.
Rini sebenarnya kemarin ingin kembali hadir di persidangan. Dengan menaiki motor dari Pasuruan seperti ketika sidang perdana di Pengadilan Negeri Surabaya pada 16 Januari lalu. ”Saya tidak bisa datang, harus jaga ibu yang sakit,” katanya.
Perempuan 43 tahun itu akan tetap menuntut keadilan. Akan tetap memperjuangkan nyawa sang buah hati agar tidak meninggal sia-sia. ”Saya akan tetap ikut turun ke jalan jika ada aksi. Siapa pun itu yang membuat aksi,” tuturnya.
Rini menyampaikan pesan kepada Presiden Joko Widodo. Dia meminta agar Jokowi mendengarkan suara keluarga korban tragedi Kanjuruhan. ”Tolong kembalikan kepercayaan kami atas hukum di Indonesia. Kami yang tidak punya jabatan apa-apa ini,” bebernya.
Dia menagih janji dari Jokowi. Janji untuk benar-benar mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan.
Rini juga meminta manajemen Arema FC ikut menuntut keadilan. Manajemen Singo Edan, menurut dia, sama sekali tidak membantu perjuangan korban tragedi Kanjuruhan selama ini.
”Tiap hari saya ke makam anak. Saya bilang ’Nak, klub yang kamu cintai dan bela mati-matian tidak ada satu pun dari mereka yang peduli ke kamu’,” ujarnya.
Seperti Rini, Isaatus Saadah tidak kuasa menahan tangis ketika mendengar majelis hakim membacakan putusan bebas untuk dua terdakwa polisi tragedi Kanjuruhan di Ruang Sidang Cakra PN Surabaya. Perempuan 24 tahun itu menganggap putusan untuk terdakwa tragedi yang menewaskan adik kandungnya, Wildan Ramadhani, tidak adil. ”Saya tidak akan berhenti sampai vonis hari ini untuk mendapatkan keadilan,” kata Isaatus.
Wildan tewas tiga hari setelah berulang tahun yang ke-16 dalam tragedi tersebut. Perempuan asal Pagelaran, Malang, itu mengaku sedih ditinggal adik satu-satunya.
Susiani, keluarga korban yang lain, juga menganggap putusan untuk tiga terdakwa polisi tidak adil. Anak pertamanya, Hendra, tewas dalam tragedi tersebut.
Sekjen Federasi KontraS Andy Irfan yang mendampingi korban menyatakan bahwa pertimbangan majelis hakim dalam putusan tersebut tidak masuk akal. Terlebih ketika menyebut gas air mata hilang tertiup angin. ”Saya rasa Pak Hakim harus mencoba sendiri sekeras apa ketika gas air mata ada di sekeliling dia,” ujar Andy.
Dia menilai banyak kejanggalan dalam persidangan. Menurut Andy, dari awal sampai akhir, unsur-unsur kesengajaan dalam tindakan polisi selama mengamankan di stadion itu terpenuhi semua. Lebih dari unsur kelalaian, bahkan dia menyebut sebagai unsur kesengajaan. ”Tapi, sayang sekali kayaknya hakim membuat pertimbangan yang di luar nalar kita. Secara hukum, secara keadilan, maupun secara kemanusiaan,” katanya.