JawaPos.com – Junta militer diduga berusaha menutup akses ke pangan, dana, dan informasi sebagai hukuman kolektif bagi warga sipil. Hal ini dikatakan Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar Noeleen Heyzer.
Untuk diketahui, Myanmar dilanda kekacauan sejak Februari 2021 ketika militer menggulingkan pemerintahan yang dipimpin peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
“Pada tahun ketiga, dampak pengambilalihan kekuasaan oleh militer terhadap negara dan rakyat Myanmar sangat menghancurkan,” kata Heyzer kepada Majelis Umum PBB, yang beranggotakan 193 orang, dikutip dari Antara Jumat (17/3).
Dia mengatakan bahwa status darurat militer telah diperluas ke 47 kota dan rezim junta telah menghidupkan kembali undang-undang tahun 1977 yang memungkinkan warga sipil yang dianggap “setia” untuk membawa senjata api.
“Sebuah generasi yang diuntungkan dari keterbukaan Myanmar sebelumnya-terutama kaum muda-sekarang kecewa. Mereka menghadapi kesulitan dan banyak yang merasa mereka tidak punya pilihan selain mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan militer,” kata Heyzer.
“Pertempuran hebat telah menyebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak terpengaruh oleh konflik, menempatkan lebih banyak nyawa warga sipil dalam bahaya dan semakin memperumit operasi kemanusiaan dalam memberikan bantuan penyelamatan jiwa kepada rakyat Myanmar,” tuturnya.
Heyzer juga mengkritisi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang terus berlanjut terhadap para pemimpin politik yang dipilih secara demokratis, tokoh masyarakat sipil, dan jurnalis.
“Meskipun sangat tidak dilaporkan, tahanan perempuan semakin menghadapi pelecehan dan kekerasan seksual,” ujar dia.
Dia pun memperingatkan bahwa penderitaan manusia akan berlipat ganda dan krisis politik, hak asasi manusia, kemanusiaan, dan sosial ekonomi di Myanmar akan meningkat jika tidak ada tindakan segera.
“Kita harus mengirimkan sinyal kuat bahwa kekerasan harus diakhiri dan dukungan untuk suara-suara demokrasi diperkuat untuk membantu memberdayakan mereka yang mencari jalan menuju masa depan yang damai,” kata Heyzer.
Lebih lanjut, dia juga menyerukan solusi berkelanjutan untuk warga Rohingya.
Lebih dari lima tahun sejak eksodus massal paksa dari Negara Bagian Rakhine, etnis Rohingya dianiaya dan tidak memiliki kewarganegaraan.
Mereka terus mengalami kesulitan yang ekstrem, hidup dalam kondisi yang sulit, dan menghadapi tantangan yang luar biasa.
Pada 2023, PBB mengupayakan 876 juta dolar AS (sekitar Rp13,5 triliun) sebagai bagian dari rencana untuk merespons krisis kemanusiaan Rohingya.
Heyzer meminta komunitas internasional untuk menggandakan dukungan mereka guna penanganan pengungsi Rohingya.