JawaPos.com – Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 menjadi Undang-Undang yang melewati masa sidang pertama, merupakan bentuk kelalaian hukum pembentuk undang-undang. Hal ini dikatakan Pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggrain.
“Jadi, soal tidak dibahasnya Perppu Pemilu pada masa sidang pertama setelah perpu ini ditetapkan, adalah bentuk kelalaian Pemerintah bersama DPR RI,” kata Titi Anggraini dikutip dari ANTARA di Semarang, Kamis (16/3).
Penyataan Titi Anggraini tersebut, merespons pernyataan Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia.
Untuk diketahui, DPR RI sebelumnya menerima Surat Presiden (Surpres) tentang RUU tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Perppu Pemilu) pada tanggal 13 Januari 2023, beberapa hari sebelum penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2022—2023.
Doli Kurnia mengutarakan bahwa pihaknya memakai ukuran berdasarkan masuknya surpres ke DPR RI untuk melakukan pembahasan.
Kendati demikian, frasa “persidangan yang berikut” dimaknai “satu masa sidang setelah Surpres Perppu Pemilu masuk” atau pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2022—2023 sekarang ini, menurut Titi Anggraini, tidak tepat.
Dalam Pasal 22 UUD RI Tahun 1945, lalu diterjemahkan oleh Penjelasan Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kata Titi, yang dimaksud “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR RI setelah perpu ditetapkan.
Semestinya, lanjut Titi, Pemerintah dan DPR RI tidak perlu melakukan pembenaran atas fakta tersebut dengan membuat tafsir yang menyimpang dari praktik selama ini dan juga ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Lebih baik, kata Titi, Pemerintah dan DPR melakukan perubahan terbatas atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum agar norma-norma yang ada dalam perppu kokoh diadopsi dalam materi muatan UU Pemilu.
Untuk substansi Perppu Pemilu yang sudah diimplementasikan selama masa keberlakuan perpu ini, antara 12 Desember 2022 dan 16 Februari 2023, dia menilai tetap sah berlaku dan mengikat semua pihak.
Hal itu, termasuk soal daerah pemilihan (dapil) dan alokasi kursi, seleksi KPU dan Bawaslu di empat provinsi pemekaran, serta seleksi panwaslu desa/kelurahan berbasis usia paling rendah 21 tahun.
Menjawab pertanyaan apakah kelak UU Penetapan Perppu Pemilu menjadi UU ini layak diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi, anggota Dewan Pembina Perludem ini mengatakan bahwa uji materi undang-undang ini sangat mungkin.
“Pihak-pihak yang melihat adanya ketidaktepatan prosedur formal dalam pembahasan dan persetujuan Perppu Pemilu bisa saja akan menguji UU yang merupakan hasil penetapan RUU Perppu Pemilu menjadi UU ini ke Mahkamah Konstitusi,” kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem.