JawaPos.com – Tokoh Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) Annar Salahuddin Sampetoding menilai, vonis mati terhadap mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Ferdy Sambo sangat berlebihan. Menurutnya, hukuman mati terhadap Ferdy Sambo hanya mengakomodir keinginan masyarakat.
“Vonis mati terhadap Ferdy Sambo kami anggap berlebihan, karena tampaknya hukuman yang diberikan hanya untuk memenuhi keinginan masyarakat tertentu, dan bukan atas dasar keadilan yang substantif dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang muncul di persidangan,” kata Annar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/3).
Ferdy Sambo yang juga merupakan kelahiran Barru, Sulawesi Selatan itu diyakini semata-mata hanya ingin membela harkat dan martabat pribadi keluarganya, jika diistilahkan ke dalam bahasa Sulsel yakni Siri’ Na Pacce.
“Keyakinan yang terdiri dari etnis Toraja, Makassar dan Bugis dan siapa pun tentu bisa saja melakukan tindakan apa pun untuk membela harkat dan martabat keluarga dan pribadinya tersebut, yang harus dilakukan sendiri tanpa terwakilkan,” ucap Annar.
Ia pun menilai, vonis mati terhadap Ferdy Sambo tidak menyisahkan sedikit ruang keadilan selama proses persidangan berlangsung. Bahkan, Ferdy dinilai sudah meminta maaf atas tindakannya melakukan pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
“Sudah mengaku salah, berkali-kali meminta maaf dan siap bertanggung jawab, bahkan bersikap sopan. Apakah tidak ada pertimbangan hukum atau keringanan atas sikap seperti ini sehingga harus dihukum mati?,” ujar Annar.
Oleh karena itu, Annar menyatakan keluarga besar Sulawesi Selatan terkhusus etnis Toraja, Makassar dan Bugis meyakini ada keadilan yang didapatkan kepada Ferdy Sambo melalui upaya hukum banding, yang sudah diajukan.
“Atas dasar keadilan dan kemanusiaan, hukuman mati adalah sesuatu yang sangat berlebihan dan karena itu pantas ditolak. Semoga para hakim pengadilan banding mempertimbangkan semua aspek tersebut, sehingga keadilan sesungguhnya bisa diperoleh juga oleh saudara kami Ferdy Sambo,” harap Annar.
Ferdy Sambo yang merupakan otak dari pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat itu dijatuhi hukuman mati. Sementara itu istrinya, Putri Candrawathi di hukum 20 tahun penjara, sedangkan Kuat Maruf dan Ricky Rizal Wibowo masing-masing divonis 15 tahun dan 13 tahun penjara.
Sementara itu, Richard Eliezer yang semula dituntut 12 tahun penjara dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.