Tanya Banser, “Bapak dari Cabang NU Mana?” Jawab Mu’ti, “Cabang Terdekat”

Sedari kecil, Abdul Mu’ti dikenal karena posturnya, kritisnya, dan lucunya. Stok cerita jenaka yang tak habis-habis membuatnya berencana menerbitkan buku humor lagi.

KHAFIDLUL ULUM, Jakarta

DI kursi pesawat itu, Abdul Mu’ti belum sepenuhnya tenang. Dia berharap benar kepada teman sebelahnya perihal yang membuatnya gelisah dari tadi: cara memasang sabuk pengaman.

Maklum, itu pengalaman pertama naik pesawat alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo (sekarang UIN Walisongo, Red), Semarang, tersebut. Tapi, lama ditunggu, temannya di sebelah kok tak kunjung memasang sabuk pengaman.

Pada satu titik, mereka akhirnya saling pandang. Dengan suara pelan, Mu’ti bertanya kepada temannya yang lulusan Universitas Gadjah Mada itu bagaimana cara memasang seat belt. Eh si teman malah kebingungan. ’’Lho, saya juga menunggu Pak Mu’ti dari tadi,” ucapnya

Kedua pria yang sama-sama tak bisa memasang sabuk pengaman itu pun terpingkal bersama.

Pesawat tersebut hendak membawa Mu’ti yang pada muktamar ke-48 di Solo tahun lalu kembali terpilih sebagai sekretaris umum (Sekum) PP Muhammadiyah itu ke Australia. Dia hendak berkuliah S-2 di Universitas Flinders, Adelaide.

Tapi, jauh sebelum ’’insiden sabuk pengaman” tadi, lintasan hidup pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 2 September 1968, itu sudah penuh dengan isian kejenakaan. Dalam istilahnya, pertautannya dengan humor itu sudah ’’gawan bayi” atau bawaan bayi.

Mu’ti lahir dari keluarga Nahdlatul Ulama, organisasi muslim yang selama ini lebih lekat dengan kejenakaan. Dalam dua perbincangan dengan Jawa Pos, bulan lalu dan Senin (13/3) lalu, dia menyebut sang bunda, Hj Kartinah, sosok yang sangat humoris.

Tapi, ketika Mu’ti menjadi tokoh Muhammadiyah, karakter lucunya itu ternyata tetap terbawa. Guru besar pendidikan agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu rutin menulis cerita-cerita humor yang kemudian dia unggah ke Instagram.

Jelang muktamar di Solo, atas permintaan seorang teman, dia pun mengumpulkan kisah-kisah humornya. Terkumpul 60 cerita. Namun, akhirnya hanya dipilih 54 cerita sesuai ulang tahunnya.

Buku itu diberi judul ’’Guyon Maton: Lucu Bermutu ala Muhammadiyin”. Setiap cerita di dalamnya dilengkapi karikatur.

Tapi, di luar yang ada di buku, masih banyak stok cerita lucu Mu’ti. Misalnya kejadian semasa dia ngaji sorogan malam di masjid dekat rumahnya di Desa Getassrabi, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.

Malam itu, sang guru menjelaskan tentang jembatan shiratal mustaqim di akhirat nanti. ’’Setipis rambut yang dibelah menjadi tujuh,” tutur sang guru ngaji.

Guru tersebut menambahkan, ada orang yang melintas di atasnya secepat kilat. Ada juga yang berlari, berjalan, merangkak, bahkan tersungkur. Semuanya bergantung amal ibadah.

Mu’ti tidak bisa menahan rasa penasarannya. ’’Pak Kiai, la nek ngoten, la podo mboten galap-galapan nek nyebrang (Pak Kiai, kalau gitu, apa tidak balapan untuk menyeberang,?” celetuk Mu’ti.

Bukannya menjawab, sang guru malah marah. ’’Kalau nggak mau ngaji, ya sudah,” jawab guru ketus, seperti ditirukan Mu’ti yang di kesempatan itu berusaha keras menahan tawa.

Ketika beranjak dewasa dan menjadi siswa di MAN 1 Kudus, suatu kali guru antariksa menjelaskan tentang matahari. Menurut guru tersebut, bumi dan planet lain berputar mengelilingi matahari. Sedangkan matahari sendiri tetap diam dan tidak bergerak.

Selesai mendengar penjelasan guru, Mu’ti sudah tidak tahan untuk bertanya, karena ada hal yang tidak sesuai dengan pemahamannya. Mu’ti menyatakan, di dalam Alquran surah Yasin ayat 38 dijelaskan, ”Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.

Mendengar pertanyaan Mu’ti, sang guru antariksa langsung kelabakan. ’’Wah, saya nggak tahu itu Mu’ti. Saya harus tanya dulu ke guru agama,” tutur Mu’ti kembali menirukan jawaban sang guru.

Menurutnya, semasa sekolah, ada tiga hal yang membuat dirinya dikenal para guru: siswa yang bertubuh kecil, siswa yang kritis, dan siswa yang jenaka. ’’Suka ngelucu, suka nyeletuk yang mencairkan suasana,” ucapnya.

Mu’ti berencana menerbitkan buku humor lagi saat berulang tahun ke-55 di tahun ini. Kebetulan ’’peluru”-nya masih banyak. Di antaranya ketika dia datang ke Muktamar NU di Lampung pada Desember 2021.

Saat itu dia datang sendirian dan kebetulan mengenakan baju hijau.

’’Bapak dari cabang NU mana,” tanya banser yang mengawalnya.

’’Dari cabang terdekat,” jawab Mu’ti santai.

Tapi, ’’penyamarannya” terbongkar ketika Zuhairi Misrawi, seorang tokoh muda NU yang sekarang menjadi duta besar Indonesia untuk Tunisia, lewat dan menghampiri Mu’ti. Kepada si banser Zuhairi menjelaskan bahwa pria yang dia kawal adalah sekretaris umum PP Muhammadiyah.

Menurut dia, buku dan budaya humor sekarang sudah menjadi tren di kalangan anak muda Muhammadiyah, meski selama ini organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut dikenal ’’serius”. Ada anggota PP Muhammadiyah, lanjut Mu’ti, yang rajin mencatat cerita humor yang dia ceritakan. Dan, kemudian menggunakan cerita-cerita tersebut ketika menyampaikan ceramah.

’’Tapi, ketika cerita lucu itu kembali disampaikan, tidak ada hadirin yang tertawa,” tutur Mu’ti terkekeh.

Warga Muhammadiyah pun, lanjut Mu’ti, sekarang sebenarnya lebih lucu dari warga nahdliyin. ’’Tapi, ada yang bilang, kalau ada orang Muhammadiyah lucu, pasti asal usulnya dulu NU, hahaha,” ungkapnya.

By admin