Ada fasilitas baru yang digagas SDN Ketintang 1/409 Surabaya. Yaitu, ruang aspirasi yang bisa dimanfaatkan semua murid untuk bercerita. Tentunya, mendapatkan pendampingan tim fasilitator dari guru senior.

RAMADHONI CAHYA C., Surabaya

LOKASINYA berada di sudut halaman sekolah. Tepat di pinggir lapangan olahraga. Satu meja, dua kursi, beserta papan penanda mengisi ruangan berukuran 2 x 1 meter itu. Meski tak terlalu luas, ruang aspirasi tersebut menjadi saksi bisu curahan hati para murid.

Ruang aspirasi itu diperuntukkan sebagai wadah menyampaikan usulan demi kemajuan sekolah. Namun, semakin hari kian luas tidak sekadar di lingkup itu saja. Mulai permasalahan keluarga, teman, hingga hal lucu sekalipun. ’’Bisa cerita apa pun yang diinginkan,’’ kata Kepala SDN Ketintang 1/409 Surabaya Agus Widodo.

Respons positif dari murid membuat pihak sekolah membuat terobosan lain. Misal, dibentuk tim fasilitator dari guru senior. Juga, buku catatan untuk merekap curhat siswa. Dengan demikian, pengawasan dapat berjalan dan solusi bisa diberikan kepada anak didiknya. ’’Karena kalau hanya cerita ke temannya, bisa jadi tidak ada solusi,’’ ujar pria 59 tahun itu, Senin (13/3).

Saat Jawa Pos berkunjung, seorang murid Gendis Putri memanfaatkan ruang aspirasi tersebut.

Dia menceritakan berbagai hal sembari dicatat oleh kawannya. Memang, tak didampingi oleh guru saat itu. Tujuannya, murid lebih ceplas-ceplos saat bercerita. ’’Tidak harus langsung dengan kami, tapi memang ada yang ke guru,’’ terangnya.

Tenang saja, curahan hati mereka menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, ruangan berada agak jauh agar tidak ada yang curi-curi dengar. Buku rekap catatan pun tak bisa dibuka oleh sembarang pihak.

Beruntung, murid yang lain sudah paham dan segera menjauh saat ruangan itu digunakan. Pihak sekolah pun rutin melakukan imbauan. ’’Saya tekankan ke mereka bahwa tidak semua temannya harus mengetahui,’’ kata dia.

Ide pendirian fasilitas tersebut muncul saat dia mengikuti penguatan kapasitas kepala sekolah. Yaitu, di Korea Selatan pada 2019. Ketika itu, dia melihat ada ruangan serupa di salah satu sekolah. Lantas, dia bertanya kegunaan ruangan tersebut. Ternyata, tak sekadar digunakan untuk makan atau beristirahat murid. ’’Akhirnya diterapkan di sini, semua murid mulai kelas I sampai VI bisa menggunakan,’’ terang dia.

Alumnus FKIP Universitas Negeri Jember itu mengungkapkan curhat lucu para muridnya. Misal, ada rambut pada bekal bawaannya ataupun cerita rekreasi keluarga. Bahkan, ada yang melayangkan protes ke sekolah. Pasalnya, sampai saat ini tidak kunjung mendapatkan piagam saat mengikuti reog yang dihelat pemkot. ’’Tapi, saya senang mereka bisa berkeluh kesah di luar konteks pendidikan,’’ jelasnya.

Ada juga murid yang curhat mengenai problem keluarganya. Tentu para guru segera memberikan pendampingan bagi murid itu. Setidaknya, psikis dan semangat belajar murid tersebut tetap terjaga. Sebab, tak mungkin juga tim fasilitator ikut campur di permasalahan semacam itu. ’’Ciri-ciri biasanya itu murung di kelas. Nah, itu kami outreach,’’ tutur bapak satu anak tersebut.

Jika sudah terindikasi cukup parah, murid itu dibawa ke psikolog. Memang masih ada orang tua yang defensif dan merasa anaknya baik-baik saja. Mereka pun diberi pemahaman bahwa tak semua yang datang ke psikolog dikatakan gila. Sekarang ada beberapa murid yang sedang mendapatkan pendampingan dari ahli. ’’Supaya tidak terjadi insiden karena depresi,’’ paparnya.

Di fasilitas yang berdiri sejak Januari itu rutin dilakukan evaluasi setiap bulan. Baginya, anak-anak merupakan subjek yang harus didengar. Tak sekadar menjadi objek saat kegiatan pembelajaran berlangsung. ’’Jangan melihat siapa yang bicara, tapi dengarkan apa yang disampaikan,’’ kata pria asli Surabaya itu.

By admin