SAAT ini pemerintah terus mendorong akselerasi kendaraan listrik. Salah satu upayanya adalah pemberian insentif pembelian kendaraan listrik yang berlaku mulai 20 Maret 2023 mendatang. Menurut pandangan saya, sebetulnya kendaraan listrik ini baru siap diimplementasikan untuk kota-kota besar tier satu.

Sebab, sejauh ini belum seluruh SPBU menyediakan charging station ataupun SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik umum). Sehingga kekhawatirannya justru akan menambah kemacetan karena jumlah kendaraan yang semakin banyak. Terutama ruas jalan di kota besar.

Kemudian, kendaraan listrik ini adalah barang baru bagi konsumen kita. Sehingga konsumen cenderung membeli kendaraan di diler resmi yang ada di lokasinya. Hal itu akan menimbulkan gap dengan daerah-daerah lain.

Kendaraan listrik sifatnya masih kepada lifestyle, bahwa ini adalah kendaraan kedua. Belum menjadi prioritas kendaraan utama. Tentu perlu dipikirkan bagaimana mengubah mindset itu. Yakni, dengan juga membatasi produksi kendaraan BBM.

Dari sisi ekosistem kendaraan listrik, Indonesia memang produsen nikel terbesar. Namun, kandungan nikel di dalam baterai kendaraan listrik itu hanya 2 persen. Jadi, masih butuh lithium, cobalt, dan barang tambang lain yang mana belum dihasilkan di Indonesia.

Lalu, dari sisi paten teknologi, kalau ingin menarik investasi baterai listrik dan EV (electric vehicle), tentu harus juga menggandeng investor yang sudah punya paten dan teknologinya. Sehingga Indonesia bisa jadi hub manufaktur. Itu butuh hal lain juga. Misalnya, kepastian regulasi, perizinan, ketersediaan infrastruktur penunjang kawasan industri, rantai pasok yang saling terhubung, biaya teknologi yang terjangkau, dan lainnya.

Kalau melihat kesiapan kawasan industri di Jateng, kemungkinan butuh waktu 5 sampai 10 tahun untuk bisa siap. Bergantung juga apakah insentif kendaraan listrik yang akan diberikan ini bisa berhasil sejauh mana. Apakah bisa meningkatkan porsi penjualan otomotif satu tahun ke depan? Nah, itu juga harus dilihat.

Sebetulnya yang lebih urgen adalah menggandeng bengkel-bengkel untuk melayani konversi dari yang konvensional ke listrik. Sebetulnya konversi ini harus lebih didorong hingga ke daerah-daerah. Sehingga dari sisi biaya bisa lebih murah untuk diakses.

Selain itu, bengkel-bengkel UMKM bisa diramaikan. Lalu, masyarakat tentu akan lebih tertarik untuk mengonversi motornya ke motor listrik. Soalnya, kalau beli motor listrik baru kan effort-nya lebih besar jika dibandingkan kalau motornya dikonversi.

Kebijakan insentif kendaraan listrik juga semestinya menggandeng pabrikan otomotif yang sudah punya nama seperti Honda, Suzuki, dan Yamaha. Nah, itu justru harus di depan. Selain itu, harus gandeng perusahaan leasing juga. Bagaimanapun juga, sebagian besar pembelian kendaraan bermotor itu menggunakan fasilitas leasing.

*) BHIMA YUDHISTIRA, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios)

**) Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Dinda Juwita

 

By admin