XI Jinping resmi dilantik sebagai presiden Tiongkok untuk periode ketiga dalam Kongres Rakyat Nasional (NPC) pada Jumat (10/3). Secara aklamasi, 2.952 orang delegasi NPC memilih Xi tidak hanya sebagai presiden, tetapi sekaligus kepala Komisi Militer Pusat yang membawahkan Tentara Pembebasan Rakyat. Sebelumnya, dalam Kongres Partai Komunis Tiongkok (PKT) pada Oktober tahun lalu, Xi ditetapkan sebagai sekretaris jenderal partai.
Dalam sistem politik Tiongkok, ketiga jabatan itu merupakan pucuk pimpinan tertinggi negara yang menguasai struktur politik dan militer. Seiring diterimanya mandat untuk kembali menduduki tiga jabatan prestisius itu di periode ketiga, Xi semakin percaya diri menjalankan agenda-agenda politiknya ke depan. Pada pidato penutupan kongres, Senin (13/3), Xi menegaskan tekadnya untuk mengembalikan kejayaan Tiongkok sebagai kekuatan terbesar global dan melancarkan reunifikasi dengan Taiwan (Xinhua, 13/3/2023).
Xi adalah sosok pemimpin karismatis yang memusatkan kekuasaan politik Tiongkok tersentralisasi di tangannya. Pengaruh pemimpin 69 tahun itu sangat kuat hingga mampu mendesak amandemen sejumlah pasal dalam Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Semula, sesuai dengan Konstitusi 1982, masa jabatan presiden dibatasi hingga maksimal dua periode.
Karena itu, Jiang Zemin (1993–2003) dan Hu Jintao (2003–2013) tidak dapat dipilih kembali setelah menuntaskan periode kedua kepresidenan mereka. Pada NPC 2018, aturan pembatasan masa jabatan dihapus sehingga memuluskan ambisi Xi merengkuh kekuasaan tanpa batas waktu.
Pemimpin Berpengaruh
Dibandingkan para pemimpin Tiongkok sebelumnya, Xi termasuk figur paling berpengaruh. Meskipun tingkat pengaruh Xi belum setara dengan Mao Zedong sebagai Bapak Pendiri RRT pada 1949, tetapi kontrol kuat mantan gubernur Provinsi Fujian (2000–2002) tersebut terhadap struktur sosial politik Tiongkok membuatnya menjadi sosok pemimpin yang tak tertandingi oleh figur siapa pun di negara ini.
Tiongkok merupakan negara dengan sistem satu partai yang menempatkan PKC pada pucuk tertinggi kekuasaan negara. Semua posisi di pemerintahan, dari tingkat lokal hingga nasional, diduduki oleh kader PKT. Sepanjang dua periode kepemimpinannya, Xi berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya dengan memperkuat basis dukungan politik di daerah dan menyingkirkan beberapa politikus yang tidak sejalan dengannya. Karena itu, pengaruh kuat Xi bersumber dari kekuasaan absolut PKT.
Menurut Kerry Brown dalam bukunya, CEO, China: The Rise of Xi Jinping (2016), Xi dan PKT adalah dua kekuatan politik Tiongkok yang tak dapat dipisahkan. Sejak kecil, kehidupan Xi telah lekat dengan doktrin ideologi komunisme. Ayahnya, Xi Zhongxun, merupakan jenderal pengikut Mao yang memimpin pasukan komunis berperang melawan kubu nasionalis dalam perang sipil 1945–1949.
Karakteristik sebagai anak pemimpin militer yang dekat dengan lingkaran elite kekuasaan telah membentuk sosok Xi menjadi kader militan PKT dengan ambisi membangkitkan kembali kejayaan Tiongkok sebagai bangsa besar. Visi kebangkitan inilah yang digagas Xi dalam pemikirannya tentang sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.
Melalui pemikiran yang telah dimasukkan dalam Konstitusi RRT ini, Xi bertekad memperkuat kekuasaan PKT, melestarikan nilai-nilai sosialis khas Tiongkok, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mengukuhkan kedaulatan Tiongkok terhadap Taiwan. Perwujudan tekad itu tecermin dalam ketegasan Xi mengimplementasikan agenda-agenda sosialisme dengan karakteristik Tiongkok selama dua periode kekuasaannya. Tak jarang hal itu ditampakkan melalui asertivitas perilaku Tiongkok.
Asertif
Pada periode pertama, Xi mengusung agenda utama Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan pada September 2013. Prakarsa ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali sabuk maritim dan jalan sutra yang pernah menghubungkan Kekaisaran Tiongkok masa Dinasti Ming (1368–1644) dengan bangsa-bangsa di sepanjang jalur itu. Melalui proyek infrastruktur yang melibatkan 149 negara, Xi berhasrat menjadikan Tiongkok sebagai pemimpin global berpengaruh dalam pembentukan tatanan internasional.
Tiongkok yang kaya memiliki dana berlimpah untuk membiayai proyek tersebut. Menurut laporan Green Finance and Development Center (2022), proyek BRI telah menghabiskan dana sebesar 932 miliar dolar AS. Persoalannya, sejumlah negara seperti Pakistan, Angola, Ethiopia, Kenya, dan Sri Lanka terjebak dalam utang ketika tidak mampu mendanai proyek bersama-sama (Forbes, 2022).
Dampaknya, negara-negara itu terjerat dalam ketergantungan terhadap Tiongkok. Celakanya, kondisi buruk tersebut dimanfaatkan Xi untuk memperbesar pengaruh Tiongkok di seluruh dunia. Pelbagai pihak mengkritik jebakan utang Tiongkok, tetapi pemerintahan Xi tak menggubrisnya dan bahkan memperluas skala proyek BRI.
Sepanjang periode kedua Xi, Tiongkok semakin asertif dalam melakukan aksi di kawasan dan merespons aneka isu. Di Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok melakukan militerisasi secara berkelanjutan. Menyikapi kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan Agustus tahun lalu, Tiongkok menggelar latihan militer dan terus menebar ancaman menginvasi Taiwan.
Secara domestik, pemerintahan Xi merepresi semua pihak yang tidak sejalan dengan garis kebijakan rezim. Sebagai contoh, Li Wenliang, seorang dokter yang kali pertama memperingatkan bahaya wabah Covid-19 pada Januari 2020, dibungkam oleh aparat Tiongkok karena dianggap memperburuk citra negara.
Mandat baru yang diterima Xi dari NPC dapat dimaknai sebagai persetujuan rakyat atas semua aksi yang dilakukan Tiongkok selama ini. Seiring dengan semakin kukuhnya kekuasaan Xi, perilaku Tiongkok ke depan akan kian asertif.
*) A. SAFRIL MUBAH, Pengajar masyarakat, budaya, dan politik Tiongkok di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga