MARET mengingatkan Soeharto. Kita mengingat dalam situasi sejarah belum terang untuk dimengerti sampai sekarang. Sejarah di kertas. Kita mengetahui arus sejarah di kertas-kertas meski ada sekian keganjilan dan keraguan. Maret itu kertas masih terus diperdebatkan dalam kebenaran sejarah.
’’Puntjan kedjadian sampai pada batasnja tanggal 11 Maret,’’ kalimat dikutip dari buku O.G. Roeder berjudul Soeharto: Dari Pradjurit Sampai Presiden (1969). Kalimat membuka sejarah bertanggal 11 Maret 1966 dengan dua tokoh terpenting: Soekarno dan Soeharto. Kita tak meributkan kebenaran-kebenaran sejarah. Ingatan kita mendingan mengarah ke kertas-kertas.
Paragraf ditulis Roeder: ’’Dokumen itu, jang dikenal dengan SP 11 Maret atau Supersemar, menugaskan Djenderal Soeharto untuk mendjamin keamanan dan ketertiban, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi. Soekarno tetap pada kekuasaannja, menurut kata-kata jang tertulis dalam SP 11 Maret, tetapi berapa djauh ia telah kehilangan kekuasaannja setjara de facto djelas kelihatan dihari berikutnja.’’ Kata-kata di kertas. Pilihan kata menghasilkan makna menentukan (arah) sejarah. Kertas itu memungkinkan ’’kemenangan’’ tokoh dan ’’kejatuhan’’ tokoh. Kertas bakal rapuh justru menjadi penentu nasib Indonesia.
Kertas-kertas dari masa lalu wajib masuk dalam album sejarah meski bermunculan ragu atas asli dan palsu. Konon, sekian kertas bersejarah sudah disimpan di museum, perpustakaan, atau institusi-institusi besar. Kertas-kertas tak cuma menghuni di Indonesia. Sekian kertas penting beralamat di berbagai negara.
Kita menganggap kertas pada 11 Maret 1966 itu penting. Kita pun mengerti ada kertas-kertas penting menggerakkan sejarah Indonesia, sejak awal abad XX. Kertas bisa dimengerti sebagai surat, artikel, dokumen, puisi, dan lain-lain. Di kertas, kita melihat tulisan tangan para tokoh. Tulisan mengabarkan biografi, keintelektualan, estetika, dan ideologi. Di kertas, kita melihat pula huruf-huruf dihasilkan di mesin tik. Huruf-huruf tampak kaku, tapi kita membaca dengan jelas.
Kita mungkin tergoda menata sejarah sambil melihat kertas-kertas menentukan Budi Utomo, Sarekat Islam, Perhimpunan Indonesia, PNI, Sumpah Pemuda, dan lain-lain. Kertas-kertas dalam peristiwa sejarah tak semua selamat. Kita masih beruntung bila tulisan di kertas sempat dikutip atau dipotret. Kita mengerti usia kertas. Sejarah di kertas rawan hancur, rusak, dan musnah.
Di ingatan kita, teks Sumpah Pemuda dan lirik lagu Indonesia Raya mengesankan selera dalam pilihan menulis dengan pena atau tulisan dihasilkan mesin tik. Selera itu bertambah kesan saat huruf-huruf dicetak di surat kabar dan buku. Sejarah Indonesia itu deretan kertas dikodratkan fana.
Kita mengingat Soeharto melalui kertas bertanggal 11 Maret 1966. Kita pun masih mengingat selembar kertas di babak akhir Soeharto. Kertas itu dipegang dan dibaca pada 21 Mei 1998. Di televisi, kita melihat Soeharto berdiri tampak pudar wibawa. Tangan itu memegang kertas. Kita sulit mengetahui bentuk tulisan tangan dari sorot kamera televisi. Kertas di tangan itu menandai kekuasaan ’’terlepas’’. Soeharto tak mungkin melanjutkan memegang kekuasaan. Kertas terlihat dalam acara di televisi dan dipotret para wartawan itu ’’terlalu’’ bersejarah bagi penulisan sejarah rezim Orde Baru bertokoh utama Soeharto.
Sejarah di kertas pun bertokoh Soekarno. Kita membuka buku berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) susunan Cindy Adams. Di halaman awal, kita melihat foto kertas memuat tulisan tangan Soeharto. Di bawah, ada tanggal dan tanda tangan. Soeharto menulis: ’’Dengan demikian rakjat Indonesia dapat mengetahui riwajat hidup… seperti jang ditjeritakan sendiri oleh Bung Karno.’’
Di situ, kita juga melihat foto Soekarno yang berdiri di serambi rumah beralamat di Jalan Pegangsaan Timur 56. Kertas itu terkenang sebagai teks Proklamasi. Soekarno membaca edisi hasil ketikan, bukan tulisan tangan. Di album sejarah, kita mendapat penjelasan mengenai dua edisi (berbeda): tulisan tangan dan ketikan.
Kertas itu masih mungkin diceritakan dan dijelaskan. Pena digunakan Soekarno malah hilang berkaitan tulisan tangan untuk Proklamasi. Kita mengutip pengakuan di buku: ’’Tidaklah pernjataan ini dituliskan di atas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat ini hanja digoreskan pada setjarik kertas. Seseorang memberi buku tjatatan bergaris-garis biru seperti jang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku menjobeknja selembar dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamasi sepandjang garis biru.’’
Kertas mendapat penceritaan. Pena pun terkenang meski hilang: ’’Kami bahkan tidak menjimpan pena jang bersedjarah jang menggoreskan kata-kata jang akan hidup untuk selama-lamanja.’’ Kita bersedih, tapi pena itu memang tertinggal di masa lalu. Pena tak beralamat.
Kita mengerti dan mengingat biografi Soekarno bersama kertas-kertas. Sekian kertas menempatkan Soekarno sebagai penggerak sejarah. Kertas-kertas pun menandai keberakhiran kekuasaan Soekarno. Kertas-kertas itu berada dalam ketegangan sejarah.
Kini, kita masih mungkin berpikiran kertas, sejarah, dan tokoh saat hari-hari terlalu bergawai. Pada suatu hari, kita bakal merindu untuk memegang kertas. Kita ingin mengetahui aroma kertas. Kita takjub melihat tulisan tangan. Kita terpana dengan huruf-huruf dari mesin tik. Sejarah terbukti bekertas meski fana. Begitu. (*)
*) BANDUNG MAWARDI, Penulis Bocah dan Sekolah (2023)