Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus adalah sosok manusia multidimensi. Selain ulama, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, itu juga dikenal sebagai penyair, budayawan, dan pemerhati sosial. Kurator pameran Lanskap Gus Mus ini mencoba menghadirkan ”panorama” luar dan dalam dunia seni Gus Mus.

HARUS memicingkan mata untuk menikmati Azimat karya Gus Mus. Karya kaligrafi berkelir biru dengan bentuk bundar itu dilukis di atas kanvas berukuran 7,5 x 7,5 sentimeter. Karya mungil tersebut mendampingi dua karya mini lainnya. Ornamen (2023, 10 x 10 sentimeter) dan Ornamen III (2023, 7,5 x 7,5 sentimeter).

Sebanyak 128 karya Gus Mus periode 1988–2023 dipamerkan di OHD Museum, Magelang, pada 12 Maret hingga 12 Juni mendatang. Selain karya Gus Mus, terdapat karya-karya Gus Mus yang berkolaborasi dengan cucu dan keponakan.

Kurator pameran Suwarno Wisetrotomo menjelaskan, dalam berkarya seni, Gus Mus ini tak terperangkap atau memerangkapkan diri dalam satu gaya. ”Gus Mus ini sosok manusia merdeka. Beliau itu sosok penjelajah,” kata Warno –sapaan Suwarno Wisetrotomo– di OHD Museum kemarin (10/3).

Berdzikir Bersama Inul (PUPUT PUSPITASARI/JAWA POS RADAR SEMARANG)

Hal itu terbukti dalam beragam media yang dipakai Gus Mus untuk mengekspresikan jiwa seninya. Mulai kertas, kanvas, bordir, sampai digital print. Selain itu, ulama 78 tahun tersebut mengeksplorasi cat akrilik, tinta pena, hingga nikotin.

Di mata Warno, Gus Mus juga mengambil jalur berbeda soal doktrin Islam menggambar manusia sebagai objek lukisan. ”Gus Mus pun membuat sketsa makhluk hidup dengan sangat baik,” ujar pria yang juga kurator Galeri Nasional Indonesia (GNI) tersebut.

Warno tak sekadar menghadirkan lukisan Gus Mus. Namun, beberapa karya puisi serta kutipan Gus Mus ikut dipamerkan. Misalnya, puisi Soal Kemiskinan yang dimuat dalam buku Album Sajak-Sajak A. Mustofa Bisri (Mata Air Publishing, 2008). Dalam puisi itu, Gus Mus melakukan kritik kepada dunia akademik, masyarakat, dan dunia terdekatnya, pesantren.

TETENGER: Sajak berjudul Soal Kemiskinan karya Gus Mus juga dipasang di ruang pamer OHD Museum Jumat (10/3). (JAWA POS)

Supaya upaya dan diskusi kita tak sia-sia/Karena soal kemiskinan ini ruwet luar biasa/Jangan lupa kita datangkan ulama untuk berdoa/Mengemis kekayaan dari hadirat-Nya/(Tapi sayangnya ulama pun sudah banyak yang lupa alamat-Nya).

”Pesan dalam puisi ini sangat kuat. Bagaimana seharusnya masalah kemiskinan ini dilihat dari berbagai perspektif dan beragam dimensi,” jelas Warno soal puisi Soal Kemiskinan tersebut.

Puisi Gus Mus berjudul Dajjal (1991) juga tampil dalam tiga dimensi. Puisi Dajjal hadir dengan iringan musik metal di ruang gelap video OHD Museum. Kemudian, sketsa-sketsa Gus Mus sebagai visualisasi Dajjal juga secara bergantian muncul di ruangan tersebut. ”Merangkai sketsa visual untuk Dajjal ini juga dikerjakan sendiri oleh beliau,” ungkap Warno.

Ornamen III (PUPUT PUSPITASARI/JAWA POS RADAR SEMARANG)

Menurut Warno, karya Gus Mus yang juga unik adalah Berdzikir Bersama Inul (2003, 45 x 65 sentimeter, akrilik di atas kanvas). Dalam karya itu, terlihat sesosok perempuan sedang berjoget di tengah-tengah sosok berkopiah dan bersarung.

Nah, dalam Lanskap Gus Mus ini, untuk memudahkan pengunjung, Warno membagi sisi kanan ruang pamer untuk menampilkan kaligrafi karya Gus Mus. Di sisi kiri ada karya-karya kategori lain seperti abstrak atau figuratif.

Sementara itu, kolektor seni rupa Oei Hong Djien (OHD) menyebut Gus Mus sebagai seniman yang melek teknologi dan tak takut bereksplorasi.

By admin