PAJAK adalah inti demokrasi. Pembayar pajak mendapatkan posisi terhormat dalam tatanan masyarakat demokratis. Uang pembayar pajak atau taxpayers’ money adalah uang sakral yang tidak boleh dikelola seenaknya. Di negara-negara demokrasi yang sudah maju, taxpayers’ money menjadi mantra yang paling dihormati dan sekaligus ditakuti.
Rakyat tidak akan mau membayar pajak kalau tidak ada demokrasi dalam bentuk perwakilan di parlemen. Pada abad ke-13, rakyat Inggris mulai berani melakukan pembangkangan ”civil disobedience” dengan menolak membayar pajak. Negosiasi berjalan alot dan keras antara monarki dan gerakan rakyat. No taxation without representation, tidak ada pajak tanpa keterwakilan.
Rakyat bersedia membayar pajak asal ada lembaga yang mewakili kepentingan rakyat dalam berhubungan dengan monarki. Lahirlah Magna Carta yang menjadi cikal demokrasi. Terjadilah perubahan mendasar dalam relasi kuasa antara rakyat dan kerajaan.
Monarki bersedia melepas sebagian kekuasaannya. Terbentuklah dua lembaga perwakilan yang mewakili kelompok rakyat, yaitu House of Commons dan lembaga yang mewakili para bangsawan atau House of Lords. Rakyat pun bersedia membayar pajak karena kepentingannya sudah terwakili di parlemen. Lahirlah konsep demokrasi perwakilan atau representative democracy yang sekarang diadopsi negara-negara demokrasi di seluruh dunia.
Di negara demokrasi yang sudah berusia lebih dari 200 tahun seperti Amerika Serikat, pajak harus diperjuangkan dengan darah dan air mata. Revolusi Amerika pada abad ke-18 adalah pemberontakan terhadap pembayaran pajak yang ditarik secara semena-mena.
Rakyat yang semakin berani menentang kekuasaan bahkan memopulerkan semboyan baru, ”Taxation without Representation is Robbery’’. Pemungutan pajak tanpa undang-undang adalah perampokan. Seorang penjahat yang menodongkan senjata dan meminta sejumlah uang sama saja dengan petugas pajak yang memaksa wajib pajak untuk membayar. Namun, penodongan oleh petugas pajak itu sah secara hukum karena didasarkan undang-undang.
Terbongkarnya skandal pajak di Indonesia yang melibatkan Rafael Alun Trisambodo menyulut amarah publik. Seorang petugas di direktorat pajak yang hanya berpangkat kepala bagian bisa mempunyai harta puluhan miliar rupiah dan bahkan sangat mungkin ratusan miliar rupiah.
Dia juga terbukti menyembunyikan hartanya dengan tidak melapor secara jujur kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Temuan terbaru menunjukkan dia mempunyai simpanan uang tunai Rp 37 miliar di safe deposit box.
Rafael tidak sendirian. Dia diduga memiliki geng di lingkungannya. Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan, ada transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 triliun. Jumlah itu berarti sekitar seperenam dari total APBN. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku tidak tahu mengenai peredaran uang haram tersebut. Padahal, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah mengendus perputaran itu. Sri Mulyani yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang rapi dan teliti kali ini terlihat teledor dan sembrono.
Sri Mulyani bertemu dengan Mahfud MD. Kemudian, Mahfud buru-buru meralat bahwa uang ratusan triliun rupiah itu bukan uang korupsi, melainkan bagian dari aktivitas pencucian uang atau money laundering. Korupsi dan money laundering menjadi dua hal yang berkaitan. Tidak akan ada money laundering kalau uang itu dihasilkan dari aktivitas yang bersih dan halal. Secara harfiah, uang yang dicuci adalah uang kotor sebagai hasil dari aktivitas haram.
Mungkin Mahfud berusaha melakukan eufemisme, penghalusan istilah. Namun, narasinya membingungkan. Sama dengan Sri Mulyani yang merangkap jabatan sampai 30 posisi, tetapi mengaku hanya menerima satu gaji dan banyak honor. Publik tidak peduli beda gaji dengan honor. Gaji diberikan secara tetap dan honor diberikan sesuai dengan jabatan yang diemban. Keduanya berbeda, tetapi sama-sama menerima uang dari pajak rakyat.
Sri Mulyani beberapa kali dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik dunia. Dia pernah menjadi direktur pelaksana Bank Dunia dan orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan tersebut sekaligus perempuan pertama di dunia yang memegang jabatan itu.
Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Badan Perdagangan Dunia (WTO) adalah tiga lembaga pengendali perekonomian dunia. Ekonom pemenang nobel dari Amerika Joseph E. Stiglitz menyebutnya sebagai the unholy trinity atau trinitas yang tidak suci. Sebutan itu diberikan karena besarnya pengaruh lembaga tersebut sampai menyaingi Tuhan.
Tiga lembaga itu adalah ujung tombak kebijakan ekonomi neoliberal yang sekarang mendominasi dunia. Sri Mulyani menerapkan kebijakan ekonomi neolib di Indonesia dengan menekankan persaingan bebas dan mengandalkan mekanisme tangan gaib ”the invisible hand”. Pajak menjadi instrumen pengumpul uang paling penting dalam sistem ekonomi neolib.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dipuji-puji Barat. Ketika ekonomi dunia mengalami kegelapan akibat resesi, Indonesia disebut the bright spot in the darkness, titik terang dalam kegelapan, karena pertumbuhannya yang stabil. Sri Mulyani layak mendapat kredit dari capaian itu.
Tetapi, puja-puji itu tidak seindah warna aslinya. Kementerian Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani ternyata keropos dan dihuni banyak perampok pajak yang tidak punya belas kasihan kepada rakyat. (*)
*) Pemimpin Redaksi Jawa Pos 2000–2002