Pernah menemukan lirik lagu yang menurut Anda seharusnya ditulis ulang? Atau, yang semestinya ditangani redaktur bahasa lebih dulu sebelum direkam dan diperdengarkan? Jika belum, saya akan sajikan untuk Anda beberapa contohnya.

“KISAH Seorang Pramuria” dari The Mercy’s adalah salah satu lagu paling dikenal, juga mungkin paling banyak dinyanyikan orang, dalam sejarah musik pop Indonesia. Ketika versi aslinya dalam suara lengking Charles Hutagalung masih terus diputar dan dipentaskan, versi remake dari Boomerang dalam suara menggelegar Roy Jeconiah yang sudah sama klasiknya masih saja menggetarkan. Sayang, lirik lagu hebat itu sangat jelas cacat bahasanya. Seseorang, dulu, seharusnya memberi tahu penulis lagu ini bahwa bait pertama lirik lagu yang prosais itu tak bisa dibaca.

Kalimat tanya retorik ”Mengapa di dunia ini selalu menertawai” itu tak memiliki subjek. Kalau seseorang yang kurang jelas pendengarannya bertanya balik, ”Siapa yang selalu menertawai, Bang?”, penulis lagu itu akan kelabakan; sebab satu-satunya jawaban yang tersedia adalah sebuah keterangan tempat: ”di dunia ini”. Andai saja subjek ”semua manusia” di bait kedua juga ada di sana, kita tak akan punya masalah. Tapi, mengingat nada, menambah kata baru sepertinya bukan opsi tepat. Dengan sedikit pengalaman sebagai redaktur bahasa, saya punya solusi yang lebih pas: buang kata depan ”di”.

Tanpa ”di”, kini kita sudah punya subjek. Kita juga jadi tahu, yang ”selalu menertawai” adalah ”dunia ini” –tentu dalam kedudukannya sebagai totem pro parte. Dan, saya kira kita tak perlu kehilangan nada.

”Demi Waktu” barangkali bukan saja lagu terpenting Ungu; bisa saja ia juga lagu terpenting beberapa remaja pertengahan 2000-an yang mengalami cinta segitiga yang rumit dan merasa terwakili olehnya. Namun, itu tak membuat hal yang salah dari lagu tersebut tak bisa dikoreksi.

Penuh dengan klise, secara keseluruhan ini lagu tentang cinta segitiga yang terang dan mudah dimengerti. Sampai kita tiba di baris inti: ”Dan demi waktu yang bergulir di sampingmu”.

Saya ingat, ketika lagu ini tengah tenar-tenarnya, seorang teman yang menekuni filsafat bahasa untuk tugas akhirnya mengernyitkan kening dan bertanya: ”Apakah si-’mu’ di lagu itu berada di luar waktu sehingga waktu ’bergulir di samping’-nya?”

Radja adalah band 2000-an lain yang punya masalah sama. Saya sulit sekali menyukai band ini karena judul-judul hitnya (”Tulus”, ”Jujur”, ”Ikhlas”) mengingatkan saya dengan masa-masa tak menyenangkan sebagai penulis buku ajar akidah akhlak, bertahun-tahun lalu. Tapi, yang benar-benar membuat saya menyerah adalah kesembronoan mereka dalam menulis lirik.

Simaklah bagian reff pada lagu ”Patah Hati” ini: Bukannya aku tak takut mati // hanya karena sering patah hati // Yang aku takut bila patah hati // engkau nekat lalu bunuh diri…

Tolong beri tahu saya bila Anda tidak sebingung saya.

***

Untuk banyak orang, mendengarkan musik tak pernah semata pengalaman musikal. Untuk saya, yang tumbuh di lingkungan dengan tradisi baca yang minim, beberapa lagu adalah pengalaman literer penting.

Ketika buku ajar bahasa Indonesia ala Orde Baru yang tertib hanya memperkenalkan ”Ini Ibu Budi” pada anak-anak kelas 1 SD, mulut para biduan dengan lancang mengajari kata-kata macam ”raib”, ”primadona”, ”pusara”, ”terkesima”, hingga ”rayu” dan ”cumbu”. Untuk mengerti frasa-frasa lebih rumit dan lebih gelap macam ”patah hati”, ”putus asa”, atau ”lembah duka”, saya tak harus membaca karya-karya Grimm Bersaudara atau Poe lebih awal; cukup simak baik-baik lagu-lagu duet Oma-Elvy dari OM Soneta atau Ida Laila-S. Achmadi dari OM Awara.

Salah satu pengalaman membaca paling awal sekaligus salah satu yang terpenting adalah membaca lirik-lirik lagu Melayu dalam sebuah buku tulis tua seukuran saku milik bapak. Lirik lagu kemudian jadi bacaan mengasyikkan seiring dengan mulai dicantumkannya lirik di sampul kaset sejak ’80-an, yang kemudian diperhebat dengan masifnya penjualan lirik-lirik lagu pop dalam bentuk stensilan. Sementara menyalin lirik-lirik lagu yang saya sukai langsung dari radio adalah salah satu pengalaman ”mengarang” paling awal.

Mau tahu bagaimana saya berada di kelas semiotika jauh sebelum saya masuk fakultas sastra? Itu terjadi di kelas 6 MI, saat saya mencoba menyimak seorang kakak sepupu yang dengan menggebu mendedah kritik sosial-politik pada lirik ”Anjing hitam, kaki dan kepalanya kuning” dari ”Lagu Lima”-nya Iwan Fals. Sementara pengalaman jatuh cinta dengan ”puisi” meskipun tak benar-benar mengerti adalah saat menyimak ”Bingkai Mimpi” Ebiet G. Ade, bertahun-tahun sebelum saya membaca tulisan Soebagio Sastrowardoyo tentang puisi-puisi Zawawi yang disukainya meski tak dimengertinya.

Untuk saya, beberapa lirik lagu adalah pengganti yang sepadan bagi buku-buku yang tak pernah ada di rak ruang tamu rumah kami.

***

Pada sebuah obituari sekenanya tentang Franky Sahilatua sedekade lalu, saya menulis bahwa lirik yang ditulis Franky di lagu macam ”Balada Wagiman Tua” dan ”Siti Julaika” lebih baik, lebih jelas, dan lebih menggetarkan dibanding kebanyakan karya sastra kita, baik prosa maupun puisi, yang diklaim atau mengklaim diri punya komitmen sosial. Sejak menulis obituari itu, ada ratusan karya sastra yang terbit, termasuk di antaranya empat novel saya, dan pendapat saya masih sama.

Jika hari ini saya ditanya seorang milenial apa literatur yang perlu dibaca untuk tahu secara jitu tentang Orde Baru, selain menyebut sejumlah majalah dan jurnal, beberapa buku sejarah ekonomi-politik, beberapa judul karya sastra dan film, tanpa ragu saya juga akan menunjuk sejumlah lirik lagu pop Indonesia, baik yang kritis maupun yang eskapis.

Sampai di sini, yang hendak saya katakan, lirik lagu, di luar ia bagian integral dari musik, baik saat dinyanyikan untuk didengar maupun ketika dicetak untuk dibaca, ia adalah teks. Secara bentuk, ia dianggap dekat dengan karakter karya sastra, puisi maupun prosa –itu mengapa Bob Dylan diberi Nobel Sastra oleh Akademi Swedia. Tapi, tak sedikit juga lirik lagu yang bisa dibaca sebagai analisis ekonomi-politik yang tak kalah tajam dibanding karya-karya akademik ratusan halaman.

Pada akhirnya, lirik lagu adalah literatur. Dan seperti semua literatur, ia bisa didekati secara literer. Artinya, ia bisa dan boleh (dan mestinya harus!) lebih dari sekadar ”disimak”. Ia bisa dibedah ejaannya, dianalisis kalimatnya, diinterpretasi maknanya, hingga dikorek ideologi dan kecenderungan politiknya. Dan, sebagaimana musik, lirik juga pada akhirnya bisa kita nilai apakah ia baik atau burik.

Secara profesional dan intelektual, tugas mengulik lirik mestinya ditanggung para jurnalis maupun kritikus musik. Tapi, secara moral ia adalah tugas semua orang yang mendengarkan musik –persis tugas pembaca terhadap teks yang dibacanya. Tapi, bukankah kepakaran telah mati? Jadi, entah untuk alasan profesional, intelektual, atau moral, atau tanpa alasan sekalipun, Anda bisa melakukannya.

Anda tak perlu mencapai kaliber Bens Leo untuk melakukannya. Tak perlu juga jadi sekelas Nirwan Dewanto atau Sunlie Alexander untuk menakar kadar kesastraan sebuah lirik. Pun tak perlu menunggu jadi Ivan Lanin untuk melakukan apa yang saya lakukan di awal kolom ini.

Sebagaimana pembaca tak perlu meminta izin penulis untuk memberi kritik, Anda juga tak perlu meminta izin musisi untuk membicarakan liriknya. Juga bukan urusan Anda mereka suka atau tidak. (*)

MAHFUD IKHWAN, Penulis asal Lamongan

By admin