Para penulis dari Timor seperti Felix Nesi selalu menghadirkan, antara lain, keotentikan dan kekhasan cara bertutur.

MEMBACA karya-karya penulis Timor selalu menghadirkan gairah berbeda. Keotentikan cara bertutur, kisah orang-orang termarginalisasi, sentimental suku dan agama, juga kritisisme terhadap kolonialisme (dan) pemerintah, menjadi khas yang terus-menerus dihidupkan.

Kapten Hanya Ingin ke Dili karangan Felix K. Nesi mengafirmasi hal tersebut melalui sebelas cerita pendeknya. Menginjak cerita pertama, kita disuguhi kisah keberanian seorang perempuan bernama Mene –anak pengiris tuak dari suku Faimanas yang merdeka– memimpin sebuah pertempuran.

Cerita ini berkelindan pada kepercayaan purba bahwa orang-orang kulit putih tidak bisa dibunuh. Ini karena saking banyaknya sosok mereka yang berdatangan: orang Belanda, Portugis, Inggris, dan Prancis.

Pada suatu bagian cerita, Mene beroleh mukjizat di antara leceh dan takut yang dialaminya. Ketika itu Mene tengah memasang alat penyulingan nira dan menadah sopi. Kemudian datanglah seorang berkulit putih dan dua orang berkulit cokelat ke lopo (lumbung dan tempat pertemuan adat masyarakat Timor).

Dengan setengah takut Mene melayani mereka punya mau: minum sopi. Meski sudah dijamu dengan baik, para tamu rupanya belum puas dan meminta Mene mengambilkan sopi yang lebih nikmat. Mene patuh. Segera ia ambil tangga, memanjat ke atas lopo.

Seorang berkulit putih yang berdiri persis di bawah Mene seketika berahi menatap celah selangkangan Mene. Sambil menunggu, tangannya mulai jail merabai betis perempuan itu. Sekonyong-konyong Mene terkejut.

Hal tersebut menyebabkan pintu tingkap yang berat meluncur ke arah si kulit putih. Tangganya pun turut bergeser dan mengarah ke seorang yang lain. Dua tamu Mene mati sudah. Sedangkan sisanya hanya melongo, dan sebentar kemudian lari tunggang-langgang sambil berteriak: ”Orang sakti! Tukang sihir! Perempuan itu baru saja membunuh dua kesatria dalam satu loncatan.” (halaman 9).

Mene dikerumuni banyak orang. Mereka pun memenggal kepala mayat itu dan menanam tubuhnya. Hingga membusuk, jasad kesatria rupanya tak pernah bangkit lagi. Orang-orang akhirnya meyakini bahwa Mene telah diberkati leluhur dan Uis Neno.

Melalui cerita tersebut, pembaca seperti diingatkan perihal isu-isu kuasa kolonialisme masa lampau. Penggunaan simbolisme warna kulit –putih dan cokelat– berperan penting sebagai penguatan karakter tokoh.

Pemilihan ini tentu disadari Felix alih-alih deskripsi klise tentang baik dan bengis. Selain kekuasaan geografis, cerita pendek berjudul ”Mene” itu menyimpulkan sebuah spirit antipatriarki –yang gemar memosisikan perempuan tak lebih sebagai objek.

Sebelum Kapten Hanya Ingin ke Dili, buku lain yang tak kalah memikat yang juga ditulis penulis dari Timor adalah Kode Etik Laki-Laki Simpanan (Robertus Aldo Nishauf, Marjin Kiri, 2022). Meskipun sama-sama dari Timor, dominasi isu dua buku tersebut sedikit lain: cerita-cerita Robertus sarat permainan satire dan sarkas, lengkap beserta karakter jalangnya, sedangkan Felix lebih menampilkan orang-orang Timor kini dan lampau, termasuk di dalamnya unsur lokalitas dan kolonial.

Cerita pendek berikutnya yang juga mengesankan ialah ”Tanta Latus”. Felix memadatkan isu-isu dalam ceritanya menjadi sedemikian kompleks. Mulai mitos: perihal burung kot-kotos pembawa pesan kematian, ilmu hitam malo tpene, politik: perihal kecurangan seleksi menjadi polisi, pengikut Partai Golkar, dan kebencian terhadap PKI, psikologis: ketakberdayaan Tanta Latus yang miskin merawat Siub Suli, suaminya.

Pesakitan yang menimpa Siub Suli berawal dari sebuah keterdesakan dan rasa sayang mendalam terhadap anaknya. Alkisah, anak Siub Suli gagal pada tahap kedua seleksi polisi.

Seorang kerabat Siub Suli kemudian datang menyodorkan penawaran, bahwa anaknya bisa diloloskan apabila sanggup menyediakan uang sejumlah 70 juta rupiah. Maka Siub Suli pun menjual tiga ekor sapi dan empat bidang tanah peninggalan leluhurnya. ”Namun itu belumlah cukup. Maka di waktu-waktu sendirinya, juga masa depan dirinya, bagaimana ia dan istrinya dan segenap keluarganya akan dipandang hormat jika anaknya menjadi polisi, ia mulai mengingat sebuah gua di bukit Bitauni. Itu bekas persembunyian Jepang, demikian orang-orang berkata. Emas dan senjata dan entah barang apa lagi.” (halaman 71). Pada akhirnya, Siub Suli tak dapat sebiji emas pun. Ia ditemukan Neno Amaf dalam keadaan tubuh remuk dan sekarat di jurang.

Merasa khawatir betul terhadap keadaan suaminya, Tanta Latus memanggil seorang dukun kampung bernama Naef Atanus. Tanta Latus menyandarkan harapan penuh kepada dukun yang masih mewarisi ilmu leoknuif –penyembuhan melalui ayam. Namun, apa yang terjadi usai Naef Atanus mendatangi Siub Suli adalah bertolak belakang dengan harapan Tanta Latus.

Dukun itu berkata Siub Suli telah mengkhianati leluhur dan bersekutu dengan iblis. Sebab, telah melakukan ritual ilmu hitam malo tpene dengan meloncat ke jurang dan mengira bisa melayang.

Naef Atanus bahkan mengatai Siub Suli orang komunis, dan dirinya tak sudi mengobati orang komunis. ”Saya bukan PKI. Saya Golkar! Mati hidup Golkar!…” (halaman 68), sambil menunjuk-nunjuk dada sebelah kiri pada baju yang dikenakannya.

Semua cerita pada buku setebal 116 halaman ini menawarkan kesegaran tema bagi pembaca, yaitu dinamika hidup orang-orang Timor. Suasana kontras, peristiwa sejarah, lokalitas kental, kembali memberi tegas bahwa khazanah cerita dari Timor sedemikian kaya. Pun meninggalkan gaung yang lama. (*)

*)  INDARKA P.P., Bermukim di Mamuju, Sulawesi Barat. Menulis buku ”Penumpasan” (Sirus Media, 2021) dan tergabung dalam Komunitas Kamar Kata.

 


  • Judul: Kapten Hanya Ingin ke Dili
  • Penulis: Felix K. Nesi
  • Penerbit: Marjin Kiri
  • Cetakan: Pertama, Januari 2023
  • Tebal: 116 halaman, 14 x 20,3 cm
  • ISBN: 978-602-0788-39-5

By admin