Sebulan terakhir, topik childfree masih menjadi kontroversi. Ini berawal dari unggahan influencer Indonesia Gita Savitri bahwa natural anti-aging adalah childfree. Para pesohor dari kalangan selebriti, ulama, hingga jajaran istana turut menanggapi.
SEBUT saja presenter Melaney Ricardo yang menyebut bahwa anak justru merupakan obat paling mujarab di antara semua obat di dunia. Sementara Ustad Adi Hidayat (UAH) berpendapat bahwa childfree bukan hal baru. Lintasan sejarah masa jahiliah memperlihatkan realitas ini. Childfree, bagaimanapun, adalah tindakan menyalahi fitrah. Sebab, punya anak adalah hak prerogatif Tuhan. Sejalan dengan UAH, Wapres Ma’ruf Amin menegaskan bahwa pernikahan adalah jalan meneruskan keturunan.
Apa yang salah dari pilihan Gita Savitri? Dalam tradisi berpikir masyarakat Indonesia pada umumnya, childfree dianggap pengingkaran terhadap kodrat Tuhan. Apalagi diselipi embel-embel menghilangkan stres disebabkan tangisan bayi. Childfree, pada dasarnya, merupakan pilihan atas tuntutan eksistensi diri. Modernisasi dan teknologi menawarkan kebebasan hidup yang ditopang dalih kenyamanan, kemapanan, dan popularitas. Ketika perempuan menikah dan dihadapkan pada konsep ibu, ia merasa bimbang karena halusinasi pikiran yang mengarah pada penurunan kualitas kecantikan.
Iklan dan Histeria Tubuh Ideal
Dua puluh tahun lalu, Irwan Abdullah dalam Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan menulis bahwa sebenarnya musuh terberat bagi perempuan bukanlah laki-laki, melainkan kapitalisme. Ia mewujud dalam berbagai bentuk relasi sosial dan menyatu menjadi kebutuhan dan ketergantungan. Iklan, misalnya, menjadi ”panglima persuasi” yang menggandeng perempuan dalam berbagai kepentingan. Histeria fisik sempurna menghipnotis perempuan untuk memiliki tubuh ideal. Bukan tanpa modal, melainkan sehimpun biaya yang harus dikeluarkan. Karena itu, perempuan berupaya mencari kehidupan dan penghidupan yang mapan demi menopang fisik sempurna.
Nyatanya bukan hanya modal ekonomi, melainkan juga sosial dan psikologi. Modal sosial hadir dalam relasi pergaulan yang didasari kesamaan tujuan. Dari pergaulan muncul upaya pengakuan sehingga usaha ”mengidealkan” diri terus dilakukan. Perempuan ingin terlihat paripurna di mata publik meski dengan segudang persoalan di belakang. Situasi ini yang akhirnya menuntut modal psikologi bernama ketenangan. Seorang yang terbiasa hidup dari pengakuan publik akan terus memompa kapasitas diri agar selalu menjadi gudang inspirasi. Media sosial yang menghadirkan ”lapak” seperti Facebook, Instagram, dan YouTube menjadi jalan ”endorse” untuk mendulang eksistensi dan materi.
Kesibukan di dunia media lambat laun mengikis sisi privat dan domestik perempuan. Pernikahan, pada akhirnya, sekadar alat melegalkan hubungan –bukan jalan pewarisan keturunan. Dengan dalih ”ingin ketenangan”, rumah tangga bukan lagi menjadi ruang untuk menata masa depan, tapi sekadar meluapkan kesenangan. Akhirnya, muncul dalih ”Bahagia itu sederhana.” Kalimat ini bisa jadi merupakan akumulasi kepenatan jiwa dan raga. Gambaran ironis pernah disampaikan Marilyn Monroe. Dalam memoarnya di tahun 1960, ia mengeluh, ”Waspada terhadap kemasyhuran dan pujian. Pada akhirnya aku menjadi wanita yang paling malang di bumi. Karena aku tak bisa menjadi seorang ibu. Aku rindu rumah tangga yang bahagia.”
Beban ”Mitos Ibu”
La Rose dalam Dunia Wanita (1992) menjelaskan bahwa pangkal utama masalah perempuan adalah ketika ia harus hadir ”di mana-mana”. Kondisi kian kompleks saat menikah dan berhadapan dengan dua peran: istri dan ibu. Sebagai istri, perempuan lantas mengikuti tradisi pelayanan terhadap suami. Peran makin bertambah saat menjadi ibu. Tuntutan mengurus dan mendidik anak makin menyita waktu. Di sinilah puncak permasalahan bagi perempuan.
Perlu penyadaran lingkungan bahwa perempuan, kata Gadis Arivia dalam Feminisme: Sebuah Kata Hati, juga makhluk berhasrat. Secara pribadi punya impian dan harapan yang ingin diwujudkan. Karena itu, muncul pertanyaan, apakah ibu yang baik adalah ia yang mampu 24 jam di rumah? Tidak begitu menurut Irwan Abdullah. Perempuan tetap mampu menjadi dirinya di ruang publik dengan mengadopsi konsep quality time bagi keluarga. Jika konsep ini dipahami bersama, perempuan tidak akan lagi dibebani dengan ”mitos ibu”, apalagi terjebak di kanal childfree. Sebab, dengan menjadi ibu, perempuan mencapai puncak kestabilan. Posisi ibu, dengan demikian, menjadi sangat penting. Sebab, dengannya, perempuan mencapai status tertentu.
Menjauhi Subordinasi
Pernikahan idealnya menjadi ”lumbung” untuk saling menumbuhkan dan membesarkan. Antar pasangan perlu memahami kekurangan, kelebihan, dan peran masing-masing. Tidak ada dominasi, tapi saling sokong dan melengkapi. Tidak akan berkurang daya maskulinitas laki-laki hanya karena mengerjakan tugas rumahan. Sebaliknya, tak akan luntur kekuatan feminitas perempuan hanya karena membantu suami bekerja.
Pola kemitraan adalah jawaban atas beragam persoalan dalam rumah tangga. Menjauhi subordinasi menjadi jalan meraih harmoni. Dalam relasi gender, laki-laki dan perempuan dapat bekerja sama untuk meraih tujuan bersama. Dukungan modernisasi dan teknologi seharusnya makin memudahkan peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Bukan sebaliknya, menjadi alat penggugat tradisi dan kodrati. Atas nama rasionalitas, manusia kerap mengonstruksi pemikiran baru yang lambat laun justru membuka keran dehumanisasi.
Demikian halnya menjembatani childfree, pasangan perlu memahami betapa pentingnya pewarisan generasi. Faktor eksternal seperti pengalaman punya orang tua toksik perlu dikikis dengan pendidikan yang mencerahkan. Anak adalah alasan jutaan manusia bekerja keras siang dan malam. Karena kepada anak, orang tua menitipkan impian. Jadi, akankah absen dalam kesempatan ini? (*)
RENI NURYANTI, Dosen Pendidikan Sejarah Unsam dan penulis biografi Inggit Garnasih