JawaPos.com – Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru memang tak luput dari kontroversi. Kementerian Hukum dan HAM juga menyadari hal tersebut. Tapi, mereka menganggap bahwa KUHP baru itu upaya untuk lepas dari nuansa kolonial dalam KUHP lama atau dekolonisasi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menuturkan, memang ada kontroversi dalam KUHP baru tersebut. Namun, kontroversi itu sudah biasa dan perlu diletakkan di posisinya. ”KUHP baru ini jalan dekolonisasi hukum kita,” tegasnya saat memberikan sambutan di acara sosialisasi KUHP Goes to Campus di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta kemarin (10/3).
Hiariej membeberkan, Belanda saja membutuhkan waktu 70 tahun untuk dekolonisasi setelah dijajah Prancis. Sedangkan Indonesia butuh waktu sekitar 60 tahun untuk persiapan dekolonisasi. KUHP baru itu tidak lagi berorientasi pada hukum retributive atau balas dendam melalui hukum. Tapi, memuat konsep hukum yang modern berupa keadilan kolektif, keadilan restorative, dan sebagainya. ”Hukum itu bukan hanya untuk asas kepastian, melainkan juga keadilan dan kemanfaatan,” tuturnya.
Mengenai pasal kontroversi, Hiariej menjelaskan pandangannya. Terutama terkait hukuman untuk para koruptor yang dinilai berkurang dari peraturan sebelumnya. Misalnya, pasal 603 di KUHP baru menurunkan hukuman minimal 2 tahun penjara untuk koruptor dari awalnya 3 tahun di UU Tipikor. Namun, itu hanya untuk satu pasal, terdapat empat pasal terkait koruptor yang naik masa hukuman penjaranya. ”Lihat pasal lain, dong,” tegasnya.
Di pasal 602 misalnya menjadi 15 tahun, meski tanpa menyebut hukuman minimal. Sedangkan di pasal 605 minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun. ”Kenapa tidak melihat pasal-pasal itu yang naik juga,” paparnya.
Dia menambahkan, dalam masa sosialisasi KUHP baru selama tiga tahun, akan diutamakan untuk aparat penegak hukum.