DI tengah-tengah fluktuasi harga beras, terdengar kabar yang merisaukan. Petani sebagai ujung tombak ketersediaan pangan nasional harus berhadapan dengan masalah lain. Pacitan sebagai salah satu daerah lumbung padi Jawa Timur tertimpa musibah dengan merebaknya penyakit ”kencing tikus”.

Sebanyak 133 kasus dinyatakan positif terpapar leptospirosis yang disebut-sebut ditularkan melalui binatang pengerat itu. Kabar terakhir bahkan sudah merenggut enam korban jiwa. Jumlah kasus yang dilaporkan meningkat cukup signifikan akhir-akhir ini. Diduga erat kaitannya dengan terjadinya banjir saat musim hujan.

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis. Artinya dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penyakit yang terutama menyasar petani ataupun peternak tersebut disebabkan bakteri leptospira spp. Bila tidak segera dilakukan antisipasi, penyakit ini berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).

Wabah bisa terjadi, terutama di daerah tropis dan subtropis. Termasuk di Indonesia. Setiap tahunnya leptospirosis bertanggung jawab atas 1,03 juta kasus dan 58.900 kematian di dunia.

Mengutip data International Leptospirosis Society (ILS), Indonesia merupakan negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi. Morbiditas tahunan diperkirakan mencapai 39,2 per 100 ribu penduduk. Negara kita berada di peringkat ketiga setelah Tiongkok dan India dalam hal fatalitasnya. Angka mortalitasnya mencapai 2,5 hingga 16,45 persen (rata-rata 7 persen).

Pola Penularan

Sebenarnya bukan hanya pekerja pertanian yang berisiko tinggi terpapar. Ada pula pekerja perkebunan, peternakan, tambang, dan rumah potong hewan. Petugas kebersihan kota atau ”pasukan kuning”, terutama yang bertanggung jawab atas kebersihan selokan, juga berisiko. Khususnya di daerah perkotaan, penularan dapat terjadi akibat tercemarnya sumber air, buruknya sanitasi, serta kondisi lingkungan tempat tinggal yang belum memenuhi standar kesehatan.

Manusia bisa terinfeksi melalui kontak dengan air yang tergenang, tanah, atau lumpur yang terkontaminasi dengan air kencing dari hewan pembawa bakteri leptospira. Mikroba tersebut dapat menginfeksi melalui luka, bahkan erosi kecil pada kulit ataupun selaput lendir (mulut, hidung, mata, dan anus).

Tikus merupakan sumber utama penularan. Tetapi, ada hewan lainnya yang juga dapat bertindak sebagai pembawa bakteri. Misalnya tupai, kambing, sapi, kucing, anjing, kuda, burung, serta landak dan kelelawar. Bakteri leptospira dapat bertahan lama dalam ginjal hewan tersebut tanpa menimbulkan penyakit. Dampaknya, bakteri itu terkonsentrasi dalam jumlah besar dan dikeluarkan melalui air kencingnya. Manusia merupakan host yang terakhir sehingga penularan antarmanusia hampir tidak mungkin terjadi.

Gejala

Sebelum timbulnya gejala klinis, diawali dengan waktu inkubasi yang bisa berlangsung antara 7 hingga 13 hari. Rata-rata 10 hari. Demam sering mendahului gejala-gejala lainnya. Kemudian diikuti keluhan menggigil, sakit kepala, kaku pada leher, dan linu-linu pada seluruh bagian tubuh. Terutama area paha, betis, dan pinggang. Pada saluran cerna sering timbul keluhan mual, muntah-muntah, diare, dan nyeri perut. Keseluruhan fase tersebut bisa berlangsung hingga tujuh hari. Bila mendapatkan penanganan yang tepat dan segera, pada umumnya akan mengalami penyembuhan.

Setelah memasuki minggu kedua, justru memicu peluang makin parahnya penyakit. Demam bisa kian tinggi hingga mencapai 40 derajat Celsius atau bahkan lebih. Kondisi fisik kian melemah. Mata tampak kuning (ikterus) dan kemerahan. Tanda-tanda terjadinya perdarahan makin tampak. Misalnya dalam bentuk mimisan, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hingga perdarahan saluran cerna.

Komplikasi fatal bisa terjadi. Termasuk di antaranya timbulnya radang paru (pneumonia), gangguan fungsi jantung, dan radang selaput otak. Akhirnya, bila terjadi gagal multiorgan, khususnya pada ginjal dan liver, prognosisnya akan kian memburuk. Tindakan hemodialisis/cuci darah kadang-kadang sangat diperlukan. Terutama dalam kondisi darurat.

Keterlambatan diagnosis pada awal penyakit bisa berakibat fatal. Pasalnya, penyakit ini bisa menyerupai penyakit-penyakit lainnya yang dianggap sebagai ”demam biasa” atau tidak khas. Konfirmasi diagnosis hanya bisa dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium yang memadai. Tidak semua daerah di Indonesia mempunyai fasilitas peralatan dan tenaga terlatih semacam itu.

Pencegahan

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) tetap merupakan tulang punggung pencegahan penularan yang terbaik. Luka kecil pada tangan dan kaki sering kali diabaikan. Karena itu, penggunaan alat pelindung diri seperti sarung tangan, alas kaki, dan pakaian khusus sangat diperlukan. Terutama bagi orang-orang yang sifat pekerjaannya berpotensi terpapar oleh mikroba leptospira melalui perantara hewan-hewan tertentu.

Personal hygiene dalam bentuk kebiasaan mencuci tangan dan kaki, membersihkan diri, serta merawat luka perlu ”diajarkan” secara berkesinambungan. Tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan terdekat seharusnya menjadi ujung tombak peran edukatif semacam itu. Hingga kini modalitas pencegahan infeksi secara spesifik pada manusia berupa vaksinasi masih belum bisa dilakukan. Riset terkait hal itu oleh para ahli masih berlangsung terus. Semoga kasus meningkatnya leptospirosis di Pacitan segera teratasi dan tidak merembet ke daerah-daerah lain. (*)


*) ARI BASKORO, Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya

By admin