JawaPos.com – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebut Indonesia Corruption Watch (ICW) sesat. Hal itu berkenaan dengan pernyataan ICW soal beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru melemahkan hukuman bagi koruptor.
“Jangan anda dengar ICW yang sesat itu,” ujar Eddy sapaan akrab Wamenkumham setelah acara sosialisasi KUHP di Universitas Gadjah Mada, Jumat (10/3).
Mulanya, ia menjelaskan bahwa meski dalam pasal 306 UU RI No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP ada pengurangan masa hukuman minimal untuk koruptor dari yang semula dalam UU Tindak Pidana Korupsi minimal tiga tahun dan dalam KUHP jadi dua tahun, tetapi dalam pasal lain ada penambahan hukuman.
“Kenapa Anda tidak lihat pasal 602 yang hukumannya naik? Mengapa Anda tidak lihat pasal 604 yang hukumannya naik? Mengapa Anda tidak lihat pasal 605 yang hukumannya naik?” cecar Eddy.
Dengan pasal-pasal tersebut, ia kemudian bertanya kepada wartawan apa artinya hukuman itu naik atau turun. Saat dijawab naik, namun masih hendak menjelaskan lanjutannya, Eddy memotong.
“Sudah stop. Udah selesai,” tandasnya.
Untuk diketahui, dalam pasal 602 KUHP disebutkan, “Setiap orang yang menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana terorisme, organisasi teroris, atau teroris, dipidana karena Tindak Pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak kategori V.”
Sementara dalam pasal 604 KUHP disebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI. ”
Terakhir, pasal 605 KUHP berbunyi, “(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V. Setiap Orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (l), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
Sebelumnya, ICW menyoroti empat hal terkait dengan aturan KUHP baru yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi.
Pertama, dengan adanya KUHP baru, ICW menganggap hal itu menghilangkan sifat kekhususan tindak idana korupsi (tipikor) sehingga korupsi tidak lagi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Kedua, duplikasi pasal pada tindak pidana utama (core crimes) yang diatur dalam KUHP dengan UU asal, yaitu UU Tipikor. ICW memisalkan dalam pasal 603 KUHP yang merupakan bentuk serupa dari Pasal 2 UU Tipikor. Dalam KUHP itu, ICW menilai ada upaya menurunkan ancaman minimal pidana badan yang sebelumnya 4 tahun (dalam UU Tipikor) menjadi 2 tahun dan denda yang sebelumnya dapat dikenakan minimal Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta.
“Meski ada beberapa pasal yang menaikkan minimum pidana badan, seperti Pasal 604 yang merupakan bentuk lain dari Pasal 3 UU Tipikor, dari 1 tahun pidana penjara menjadiminimal 2 tahun. Namun hal ini tentu tidak sepadan dengan subjek yang diatur dalam pasal ini yakni, pejabat publik atau penyelenggara negara,” kata ICW dalam rilis resminya.
Ketiga, tidak memasukkan ketentuan mengenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Keempat, KUHP berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi. Sebab, dalam penjelasan pasal 603 KUHP yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara adalahberdasarkan hasil pemeriksaan lembaga audit keuangan negara.