JawaPos.com–Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) minta jaksa penuntut umum (JPU) kasus tragedi Kanjuruhan mengajukan banding terhadap vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Ketua Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan Imam Hidayat mengatakan, JPU wajib melakukan banding terhadap vonis terdakwa Tragedi Kanjuruhan tersebut. Sebab hukuman yang dijatuhkan dinilai terlalu rendah.
”Kalau sudah vonis, jaksa wajib banding. Kita tunggu, jaksa banding atau tidak,” ucap Imam seperti dilansir dari Antara.
Imam menjelaskan, jika jaksa penuntut umum tidak melakukan banding terhadap vonis tersebut, akan semakin memperkuat bukti bahwa keadilan bagi keluarga korban tragedi Kanjuruhan tidak didapatkan. Para korban tragedi Kanjuruhan yang diwakili Tatak sudah menduga vonis tersebut akan lebih ringan dari tuntutan.
Dia menilai, tidak ada keseriusan dalam mengusut tuntas peristiwa tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia tersebut.
”Kita mulai awal sudah menduga seperti itu. Artinya memang tidak ada keseriusan dalam persidangan model A di Pengadilan Negeri Surabaya,” ujar Imam Hidayat.
Selain itu, dia mempertanyakan tersangka lain yang hingga saat ini masih belum menjalani proses peradilan. Yakni Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) saat itu, Ahmad Hadian Lukita (AHL). Pihaknya mempertanyakan proses kelengkapan dokumen yang hingga kini belum rampung.
”Dimana AHL? Itu tidak muncul. Perkara saat ini sudah hampir selesai, dokumen belum dilengkapi. Ini ada apa?” papar Imam Hidayat.
Sementara itu, keluarga korban tragedi Kanjuruhan Devi Athok yang kehilangan dua putrinya dalam peristiwa tersebut menyatakan kecewa dengan vonis yang dijatuhkan hakim kepada para terdakwa. Proses persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam peristiwa memilukan pada 1 Oktober 2022.
Pada peristiwa itu, dua putri Devi Athok meninggal dunia dan telah dilakukan proses otopsi.
”Saya mewakili dua putri saya, jujur saya kecewa dengan hasil sidang di Surabaya. Tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan,” ucap Devi Athok.
Pada sidang putusan di Pengadilan Negeri Surabaya, terdakwa kasus tragedi Kanjuruhan Abdul Haris divonis satu tahun enam bulan penjara. Lebih rendah dari tuntutan JPU yakni enam tahun delapan bulan penjara.
Sementara itu, Suko Sutrisno, divonis satu tahun penjara yang juga lebih rendah dari tuntutan JPU selama enam tahun delapan bulan penjara. Suko secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melanggar pasal 359, pasal 360 ayat (1) dan pasal 360 ayat (2) KUHP.
Pada 1 Oktober 2022 terjadi kericuhan usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Kekalahan itu menyebabkan sejumlah suporter turun dan masuk ke dalam area lapangan.
Kerusuhan tersebut semakin membesar. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut dan pada akhirnya menggunakan gas air mata.
Akibat kejadian itu, sebanyak 135 orang dilaporkan meninggal dunia akibat patah tulang, trauma di kepala dan leher, serta asfiksia atau kadar oksigen dalam tubuh berkurang. Selain itu, dilaporkan juga ada ratusan orang yang mengalami luka ringan hingga berat.