Jalinan Persaudaraan, Upaya Hapus Stigma, serta Pertautan Hati

Dengan ribuan anggota dari berbagai latar belakang dan tersebar di berbagai daerah, BisMania Community turut menjadi semacam pengawas kebijakan transportasi. ”Lebaran” para anggota tiba saat jambore nasional diadakan.

DIAN WAHYU PRATAMA, Surabaya

WAYAN Sindhu santai saja naik bus itu. Dari warnanya, tanpa perlu melihat papan informasi di bagian depan, dia yakin bus itu bakal membawanya dari Surabaya ke Semarang.

Sampai ketika bus telah meninggalkan terminal dan kondektur mendekat, barulah dia sadar: yang dinaikinya bus jurusan Surabaya–Jogjakarta. ”Ya, akhirnya turun di Solo dan oper bus ke Semarang,” kenang ketua BisMania Community (BMC) itu, lantas tergelak.

Banyak, banyak sekali cerita naik bus yang mengundang senyum atau tawa yang dialami atau didengar Wayan sepanjang bergelut dengan komunitas yang dipimpinnya tersebut. Tentu ada pula yang bernada keluhan.

Bahkan, keluhan penumpang bus yang dicurahkan lewat tulisan di sebuah blog pada 2007 pula yang menjadi awal terbentuknya BMC. Mereka yang turut berkomentar atas apa yang ditulis di blog itu kemudian berkumpul di garasi PO Sumber Alam, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 8 Maret 2008. Dan, terbentuklah komunitas yang kemudian terus tumbuh tersebut.

Dari awalnya beranggota seratus orang saja, BMC kini memiliki 2.500 member yang tersebar pada 15 koordinator daerah (korda) di Indonesia. Setiap anggota memiliki latar belakang yang berbeda. Mulai pelajar, pemilik perusahaan bus, dokter, pegawai dinas perhubungan, hingga pengasuh pondok pesantren.

”Semuanya ada di sini. Paling senior ada yang usia 60 tahun,” terang Wayan yang sehari-hari berprofesi dokter hewan dan aktif di BMC sejak di bangku SMP.

Tak hanya kian besar, BMC juga turut mereduksi stigma orang tentang bus. Di antaranya karena banyaknya copet.

Kini, pelan tapi pasti, stigma itu tereduksi. ”Kami berusaha menunjukkan naik bus itu nyaman dan aman,” kata pria 30 tahun tersebut kepada Jawa Pos yang menemuinya di Surabaya pada Rabu (8/3).

Jawa Pos termasuk yang mengalami sendiri perubahan itu. Sampai dekade pertama 2000-an, setidaknya di rute Mojokerto–Surabaya, sering sekali kondektur, dengan nada bisik-bisik, memberi tahu penumpang agar berhati-hati dengan dompet dan barang bawaan karena di titik tertentu bakal ada kelompok copet yang naik.

Tapi, memasuki dekade kedua sampai sekarang, peringatan itu sudah semakin jarang dan hilang seiring kian langkanya kejadian kecopetan di rute yang sama. Selain itu, rata-rata bus ekonomi sudah ber-AC.

Setiap hari, kata Wayan, para anggota komunitas melalui media sosial menuliskan catatan perjalanan mereka. Mulai soal tarif, jadwal keberangkatan, hingga nomor seri kendaraan. Semuanya akhirnya membuat banyak orang lebih mengenal dekat tentang bus.

BMC juga tumbuh menjadi semacam pengawas kebijakan transportasi. Mereka menampung keluhan konsumen untuk kemudian dilanjutkan kepada operator bus hingga dinas terkait.

Satu-satunya komunitas bus yang terdaftar secara legal di Kementerian Hukum dan HAM tersebut juga mendapat pengakuan Kementerian Perhubungan. Itu dibuktikan dengan dilibatkannya BMC pada pembahasan penataan terminal tipe A di seluruh provinsi di Jawa belum lama ini.

Selain rutin berkomunikasi lewat beragam platform, kegiatan rutin terus diadakan para anggota BMC. Di antaranya kopi darat antaranggota di setiap korda dan korwil setiap minggu.

Puncaknya, setiap tahun ribuan anggota BMC menggelar jambore nasional (jamnas). Tahun ini kegiatan tersebut diselenggarakan pada Sabtu (4/3) lalu di Lanud Gading, Jogjakarta.

Menurut Wayan, jamnas tak ubahnya Lebaran BisMania. Termasuk tahun ini, kegiatan tersebut sudah kali ke-12 diadakan. Di Jogjakarta, 1.500 anggota hadir langsung.

Berbagai macam perlombaan seperti fun soccer dan tarik tambang dihelat. Juga sajian dangdut, musik yang memang kerap menemani perjalanan BisMania.

Ribuan mata anggota juga dimanjakan berbagai macam bus yang dibawa setiap korwil. Sebanyak 50 bus dengan berbagai karoseri (bodi bus) dan sasis hadir.

Wayan Sindhu (DOKUMENTASI BISMANIA COMMUNITY)

Ada dua di antaranya yang paling menyedot perhatian. Pertama, ultrahigh deck, jenis baru yang menggunakan spion digital. Lalu, golden dragon yang sudah jarang ditemui. ”Ini jadi sasaran empuk anggota untuk berfoto dan masuk bus,” papar alumnus Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya itu.

Jamnas di Jogjakarta juga terasa lebih spesial karena diadakan tidak di tempat wisata umum seperti biasanya yang tentu bercampur dengan para pengunjung lain. ”Tahun depan rencananya kegiatan serupa dilaksanakan di Jawa Barat,” kata dokter hewan RPH Surabaya itu.

Terdekat, menyambut bulan puasa, BMC juga punya agenda rutin: safari Ramadan. Bentuknya kegiatan sosial berbagi kepada sesama di setiap daerah. Ada pula sahur on the road.

Tahun ini kegiatan berbagi itu bakal terbagi di dua wilayah. Timur dipusatkan di Nganjuk, Jawa Timur, dan barat disentralkan di Cirebon, Jawa Barat.

Edi Nur Cahyono, anggota BMC dari korwil Jakarta Raya, mengaku menyukai bus karena darinya dia bisa belajar banyak hal.

Mulai kerasnya perjuangan para sopir, kondektur, hingga kernet. Juga bagaimana pengelola bus berusaha agar dapat terus mempekerjakan banyak pegawai. ”Itu sisi nilai kehidupannya,” terang pria asal Rembang, Jawa Tengah, tersebut saat dihubungi Jawa Pos kemarin (9/3).

Sejak bergabung di BMC pada 2008, Didik seperti menemukan sebuah keluarga baru. ”Selama ini bepergian ke mana pun dan kapan pun tidak bingung karena punya teman di berbagai daerah,” katanya.

Namanya keluarga besar, tentu ada saja pengalaman yang bisa diceritakan para anggota. Suatu kali, kata Wayan, seorang teman anggota BMC turun di sebuah rest area karena bus yang ditumpangi berhenti di sana.

Ada juga cerita pertautan hati di BMC. ”Bertemu, kenalan, menikah, dan langgeng berumah tangga sampai sekarang,” kata Wayan.

By admin