Haris Gunawan, Meracik Kopi Juara Internasional dan Melawan Sistem Ijon
Untuk menemukan formula kopi juara, Haris Gunawan butuh waktu setahun menjajal beragam teknik dan rutin begadang sampai tengah malam. Butuh kebijakan pemerintah untuk menjaga harga kopi dan mereka yang menanam tak jatuh ke perangkap tengkulak.
ILHAM WANCOKO, Jakarta
—
ADA pahit sedang, gurih yang terasa di sepanjang pinggiran lidah, manis yang membelai di ujung lidah, dan yang paling menonjok adalah asamnya yang berkarakter. Wajar kalau kemudian kopi robusta dari Bermani Coffee dianugerahi penghargaan bergengsi internasional.
Pada 2019, Bermani Coffee meraih medali emas dari festival kopi internasional, Agency for the Valorization of Agricultural Products (AVAP). Kopi tersebut juara dalam kategori puissant amer, powerfull bitter, strength and bitterness dominating and hiding other characters.
Dalam AVAP 2019, hanya ada 12 kopi yang mendapatkan medali gold dengan berbagai kategori. Dan, coba cicipilah kopi besutan Haris Gunawan itu dalam versi tubruk. Jawa Pos yang memesan secara daring sempat menjajalnya setelah pesanan sampai pada akhir Januari lalu: sungguh nendang!
Kopi juara internasional dari Rejang Lebong, sebuah kabupaten di Bengkulu. Sebuah kota kopi yang bisa dibilang terpinggirkan alias jarang dibicarakan dalam peta perkopian tanah air.
”Memang seharusnya Rejang Lebong ini kota kopi. Karena kopi ini penggerak utama. Saat kopi mahal pasar ramai, saat kopi murah pasar sepi,” tutur pemilik Bermani Coffee itu saat dikontak Jawa Pos dari Jakarta (31/1).
Namun, karakter seperti itu pula yang tengah dilawan oleh Haris. Kopi sebagai komoditas yang babak belur akibat sistem ijon. Para petani yang kehilangan arah telah menjual kopinya saat masih pelangi alias belum matang. ”Demi memenuhi kebutuhan hidup yang tinggi,” ujarnya.
Yang akhirnya, petani tak bisa lagi menentukan dan bertahan atas kopinya. Tak bisa menentukan harga kopi mereka sendiri. ”Saat panen, ya harga satu kilogram hanya Rp 18 ribu. Satu ton hanya Rp 18 juta. Ya tekor petani kopi,” paparnya.
Namun, Haris telah berhasil menjungkirbalikkan paradigma kopi itu murah. Kopi robusta Bermani-nya dipasang di harga Rp 100 ribu per kilogram. Malah lakunya bukan kepalang.
Bahkan, kopinya dengan proses wine atau biasa disebut wine coffee dipatok Rp 500 ribu sekilo. Kopi satu kilogram seharga setengah dari harga emas satu gram.
Menurut dia, perlawanannya terhadap praktik ijon dan konsistensi menerapkan produksi kopi yang memiliki parameter yang jelas mampu melambungkan harga produk Bermani Coffee. Namun, memang untuk menemukan formula kopi juara ini harus bercucuran keringat dulu.
Perlu waktu setahun dengan berbagai teknik, begadang tengah malam, dan pengorbanan untuk menemukan formulanya. Haris memulainya dari mencari bibit.
Setelah menemukan bibit yang tepat, kemudian ditanam di kebun dengan petik merah. Petiknya saat panen pun per biji. Bukan petik serampangan, asal dapat. ”Hanya biji kopi yang sudah merah yang dipetik,” terangnya.
Setelahnya, biji-biji kopi tersebut dimandikan. Ya, dimandikan untuk menghilangkan getah. Diproses rembang atau menenggelamkannya dalam air. Biji kopi yang baik akan tenggelam dan yang cacat akan terapung.
Biji terbaik itulah yang kemudian mulai diproses. Dijemur di rumah jemur dan kemudian setelah siap, mulai dijual baik dalam bentuk green bean atau sudah di-roasting.
Rejang Lebong sebenarnya merupakan kiblat kopinya Indonesia. Tapi, sayang, dalam istilah Haris, salah asuh dan terpinggirkan.
Bengkulu sendiri juga merupakan provinsi produsen kopi keempat terbesar di Indonesia. Bahkan, dalam perkiraan Haris, sebenarnya lebih dari empat besar. ’’Karena kopi Bengkulu ini saat dikirim melewati Lampung dulu atau diserap dulu di Lampung,” paparnya.
Dalam buku ’’Kopi: Aroma, Rasa Cerita” karya Yandhie Arvian Et Al, disebutkan bahwa kapal-kapal Belanda yang membawa kopi ke Indonesia. Rencananya, untuk ditanam di Pulau Jawa pada 1696.
Namun, sebelum ke Jawa, kapal-kapal itu singgah dulu di Bengkulu dan ditanam di sana. Barulah secara besar-besaran ditanam di Jawa. Tapi, penanaman di Jawa itu gagal akibat gempa dan banjir.
Catatan sejarah itu diperkuat dengan pengalaman masyarakat Bengkulu. Haris menceritakan, pada 1998, saat Indonesia kembang kempis dihembalang krisis moneter, justru menjadi puncak kejayaan petani kopi Bengkulu. Sebab, harga kopi naik drastis. Para petani kopi kaya mendadak. Sampai-sampai dikenal dengan fenomena asal borong.
Truk pembawa sepeda motor disuruh berhenti. Semua sepeda motornya dibeli. Saat listrik belum masuk desa, warganya sudah membeli lemari es.
Mobil-mobil baru juga berseliweran. Semua dibeli oleh petani kopi. ”Tapi, semua itu tinggal cerita. Karena tidak ada kebijakan pemerintah yang merawatnya,” tuturnya.
Haris menuturkan, kopi itu memiliki karakter yang harus didukung oleh kebijakan. Dari hulu dan hilirnya. ”Kalau hulunya, seperti saya ini, menjaga harga kopi tinggi,” katanya.
Untuk hilirnya jelas, masyarakat pencinta kopi harus menghargai kopinya dengan pantas. Namun, yang paling jadi pekerjaan rumah itu soal kebijakan pemerintah.
Menurut Haris, pemerintah sebaiknya kreatif dalam memberikan kebijakan agar petani mendapatkan akses ke perbankan. ”Berikan pinjaman senilai dengan tanamannya, pasti uang kembali. Pemerintah kok kalah dengan tengkulak dengan sistem ijonnya,” katanya.
Kalau pemerintah mau mendengar, siapa tahu bakal lahir kopi-kopi juara lainnya seperti Bermani Coffee.