JawaPos.com – Penolakan terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024 makin meluas. Kali ini, Muhammadiyah juga menolak penundaan tersebut. Ormas Islam itu pun mendukung upaya KPU untuk mengajukan banding.
“Putusan (PN Jakarta Pusat) tersebut sama saja dengan menunda pemilu yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024,” kata Ridho Al-Hamdi, ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, kemarin (7/3).
Dia menyatakan, putusan tersebut bertentangan dengan konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, pihaknya mengungkapkan, masalah sengketa administrasi maupun tahapan pemilu seharusnya diselesaikan di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pengadilan tata usaha negara (PTUN). PN Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk membuat keputusan penundaan pemilu.
Menurut Ridho, mekanisme penundaan tahapan pemilu pun sudah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Di pasal 431 telah disebutkan sejumlah prasyarat yang bisa menghentikan tahapan pemilu. Di antaranya, bencana alam, gangguan keamanan, dan huru-hara. ’’Prasyarat terbatas ini pun hanya berlaku pada tingkat daerah, bukan nasional,” terangnya.
Karena itu, pihaknya menolak segala upaya untuk menunda pemilu. Putusan PN Jakarta Pusat dianggap telah cacat hukum. Muhammadiyah pun mendukung upaya banding yang dilakukan KPU RI. Sejalan dengan itu, penyelenggara pemilu harus tetap melaksanakan tahapan Pemilu 2024 sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai Nasdem Atang Irawan mendorong agar putusan PN Jakarta Pusat dieksaminasi. Sebab, putusan tersebut telah menyimpang dari substansi dan proses hukum itu sendiri. Bahkan telah menjadi kontroversi dalam penerapan keadilan. ’’Maka, perlu dilakukan eksaminasi,’’ ujar Atang.
Eksaminasi merupakan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan jaksa atau putusan pengadilan. Menurut Atang, sebagai konsekuensi asas atau prinsip peradilan terbuka untuk umum, eksaminasi putusan pengadilan atau legal annotation menjadi ruang bagi publik untuk menilai apakah sebuah proses persidangan, pertimbangan hukum, dan putusannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan keadilan bagi masyarakat atau tidak.
Atang menyatakan, eksaminasi sesungguhnya bukan barang baru. Sudah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 1967 tentang Eksaminasi. Bahkan, MA dalam instruksinya menyebutkan bahwa ketua pengadilan atau badan peradilan yang lebih tinggi dapat melakukan pengawasan, jika perlu teguran hingga hukuman jabatan.